Bisnis.com, JAKARTA – Harga timah berhasil kembali ke level US$17.000 per ton, semakin mendekati level tertinggi pada tahun ini seiring dengan penguatan tembaga dan proyeksi permintaan yang naik.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (17/7/2020) harga timah di bursa LME parkir di posisi US$17.330 per ton, terkoreksi 0,23 persen atau 40 poin.
Harga timah telah naik 30,79 persen dari level terendahnya pada akhir Maret 2020 di posisi US$13.250 per ton. Sementara itu, sepanjang tahun berjalan 2020 timah telah bergerak menguat 0,9 persen.
Timah menjadi logam dasar selain tembaga yang telah berhasil menghilangkan kerugiannya akibat gejolak pasar seiring dengan Covid-19 dan bergerak di zona hijau secara year to date.
Padahal, logam dasar lainnya seperti aluminium, nikel, dan seng masih terperangkap di zona merah sepanjang tahun berjalan 2020.
Selain itu, harga timah pun semakin dekat dengan level tertinggi yang pernah diraih pada medio Januari tahun ini di posisi US$17.850 per ton.
Baca Juga
Market Analyst International Tin Association James Willoughby mengatakan bahwa harga timah secara umum telah mengarah kepada jalur kenaikan sepanjang Juli. Dalam satu bulan terakhir saja, harga timah telah bergerak niak 2,01 persen.
Dia menjelaskan bahwa harga timah ikut tersambar dari kenaikan luar biasa dari harga tembaga dan logam dasar lainnya.
“Kenaikan itu juga didukung oleh data-data China sebagai konsumen utama logam di dunia, yang dirilis positif, walaupun data terbaru memungkinkan adanya koreksi sedikit dari harga timah,” ujar James seperti dikutip dari publikasi risetnya, Senin (20/7/2020).
Senada, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan bahwa permintaan China untuk timah telah kembali dengan cukup kuat saat pandemi Covid-19. Bahkan, tampaknya pandemi itu telah membawa berkah tersendiri terhadap komoditas yang menjadi bahan baku utama barang-barang elektronik itu.
Saat pandemi Covid-19, kebutuhan akan barang-barang elektronik semakin besar seiring dengan kebijakan kerja dari rumah oleh banyak perusahaan di seluruh dunia, terutama China, untuk membatasi penyebaran Covid-19.
Ekspor China untuk komputer dan barang-barang terkait telah menanjak cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Selain itu, permintaan timah di dunia juga tampak memulih seiring dengan meningkatnya volume ekspor dari produsen timah terbesar dunia, Indonesia. Ekspor timah Indonesia untuk periode Juni 2020 berhasil naik 32 persen dari bulan sebelumnya menjadi sebesar 5.781,6 ton.
Angka itu telah jauh lebih baik dibandingkan dengan volume ekspor timah Indonesia yang sempat terkoreksi hingga 39,2 persen secara month to month untuk periode Maret 2020.
Adapun, semua negara tujuan ekspor Indonesia telah menunjukkan kenaikan permintaan. Penjualan ke China untuk periode Juni naik signifikan yaitu 118,16 persen menjadi sebesar 1.866 ton daripada bulan sebelumnya sebesar 866,8 ton.
Tidak hanya itu, dari Singapura, Korea, dan Jepang juga mencatatkan kenaikan penjualan pada periode Juni.
“Sementara itu, pandemi Covid-19 justru menekan produksi karena tambang timah membatasi operasional dan bahkan ada yang ditutup, sehingga semua berkonsekuensi kepada ancaman defisit,” ujar Wahyu kepada Bisnis, Senin (20/7/2020).
Defisit Pasokan
Wahyu memproyeksi defisit pasokan akan terjadi pada tahun depan sehingga timah akan berada di jalur kenaikan pada akhir 2020 dan 2021. Timah pun diproyeksi akan mengungguli semua kinerja logam dasar lainnya, tembaga sekalipun.
Dalam jangka panjang, sesungguhnya permintaan timah juga sangat cerah. Pelaku usaha memperkirakan permintaan timah rafinasi naik hingga 100.000 ton per tahun. Padahal, angka itu setara dengan sepertiga dari jumlah produksi timah tiap tahunnya saat ini.
Belum lagi dengan proyeksi 10 tahun ke depan bahwa produksi tambang timah hanya akan meningkat sekitar 20.000 ton. Dengan demikian, prospek defisit pasokan berada di depan mata.
Banyak pelaku usaha, seperti Rio Tinto Group, mengatakan bahwa dari semua logam timah akan menjadi logam yang paling terkena dampak dari perkembangan inovasi teknologi baru, lebih dari lithium, kobalt, perak, dan grafit.
Belum lagi, baterai dalam kendaraan listrik yang juga membutuhkan timah sehingga sektor itu diperkirakan akan tumbuh secara substansial selama dekade berikutnya.
“Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, telah ada laporan dari universitas China yang menjelaskan bagaimana timah dapat meningkatkan output alat tenaga surya, dan penelitian lain yang menunjukkan bagaimana timah dapat meningkatkan kinerja baterai lithium-ion dan teknologi pengolahan air,” papar Wahyu.
Harga timah memiliki potensi untuk melanjutkan penguatannya ke level US$18.000 per ton dalam jangka pendek. Jika level tersebut berhasil dilewati oleh timah, maka logam itu berpotensi masuk ruang konsolidasi seperti yang terjadi sepanjang 2016-2019 yaitu di kisaran US$18.000 per ton hingga US$22.000 per ton.
Lebih rinci, pada kuartal ketiga harga timah diyakini bergerak di kisaran US$16.000 per ton hingga US$19.000 per ton, sedangkan sepanjang paruh kedua tahun ini bergerak di kisaran US$16.000 per ton hingga US$21.000 per ton.