Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan penghasil tembaga terbesar di dunia, Codelco, memprediksi tembaga akan tetap tertekan hingga tahun depan sebagai dampak dari ketidakpastian yang terus menerus bergulir di pasar, seperti ketegangan perdagangan AS dan China yang belum kunjung usai.
CEO Codelco Octavia Araneda mengatakan bahwa harga tembaga sulit untuk kembali tinggi di tengah perang dagang AS dan China yang terjadi berlarut-larut sehingga menekan jumlah permintaan logam merah tersebut.
“Semuanya menunjukkan bahwa harga tembaga tidak akan membaik tahun depan. Perang dagang masih sulit untuk diprediksi,” ujar Octavia seperti dikutip dari Reuters, Minggu (15/9/2019).
Prospek harga yang lebih rendah tersebut datang pada waktu yang sulit bagi Codelco. Pada paruh pertama 2019, laba perusahaan tersebut telah jatuh 74% menjadi hanya US$318 juta.
Kendati demikian, Octavio mengatakan bahwa produksi tembaga Codelco akan meningkat sebanyak 30% dalam produktivitas di sisa 2019 di tengah lemahnya permintaa global.
Selain itu, Kementerian Energi Indonesia juga telah menyetujui rekomendasi baru untuk unit Freeport McMoran Inc umeningkatkan ekspor konsentrat tembaga menjadi 700.000 ton hingga Maret 2020.
Baca Juga
Rekomendasi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persetujuan awal untuk pengiriman 198.282 ton konsentrat tembaga oleh Freeport McMoran. Adapun, tambang Grasberg Freeport diperkirakan dapat menghasilkan 1,2 juta ton konsentrat tembaga tahun ini.
Di sisi lain, pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (13/9/2019), tembaga berhasil mencapai level tertinggi dalam 1,5 bulan terakhir karena investor berharap meredanya ketegangan perdagangan antara AS dan China pada akhirnya akan meningkatkan permintaan logam.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (13/9) tembaga di bursa LME berada di level US$5.974,5 per ton, menguat 2,43%.
Caroline Bain, Kepala Ekonom Komoditas Capital Economics di London, mengatakan bahwa pasar tampaknya telah mencerna sentimen positif ini cukup baik, meskipun sulit untuk membuat pasar terlalu bersemangat sehingga tembaga dapat reli.
“Tentu saja ekonom AS kami sangat skeptis bahwa ini akan mengarah ke mana saja. Kami juga berpikir ekonomi global akan terus melambat selama sisa tahun ini, jadi kami melihat sangat sedikit kenaikan harga logam dari sini,” ujar Caroline seperti dikutip dari Reuters.
Seperti yang diketahui, menjelang negosiasi perdagangan AS dan China pada awal Oktober, kedua negara saling melonggarkan ketentuan tarif impor produk masing-masing.
Pemerintah AS sepakat untuk menunda pengenaan tarif sebesar 5% pada impor China selama dua minggu, sedangkan China mengizinkan perusahaannya untuk melanjutkan pembelian produk pertanian AS dan akan mengecualikan beberapa produk pertanian dari tarif tambahan untuk barang AS.
Perang dagang yang berkepanjangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut telah membebani pertumbuhan global dan prospek permintaan untuk sebagian besar logam industri. Sepanjang tahun berjalan 2019, tembaga di bursa LME telah bergerak melemah 0,44%.