Bisnis.com, JAKARTA — Harga tembaga berpeluang merosot ke area US$4.900 per ton dalam jang pendek sebelum menanjak ke posisi US$5.785 per ton pada kuartal terakhir 2017.
Pada penutupan perdagangan Selasa (16/5/2017), harga tembaga di bursa London Metal Exchange (LME) merosot 2 poin atau 0,04% menuju US$5.611 per ton.
Sepanjang tahun berjalan, harga tembaga menjadi turun 1,36%. Tahun lalu, harga tembaga tumbuh 16,91% dan ditutup di level US$5.535 pada 30 Desember 2016.
Analis komoditas Morgan Stanley Tom Price mengatakan harga tembaga masih tertekan risiko penurunan ke area US$4.900 per ton. Risiko penurunan terjadi akibat perlambatan permintaan China, sebagai konsumen terbesar di dunia, dan kegagalan pembelanjaan infrastruktur Amerika Serikat.
Harga tembaga meluncur setelah pasar merespon tiga sentimen dari AS, yakni isyarat kenaikan suku bunga Federal Reserve, lonjakan stok, dan penurunan penjualan mobil.
Sementara itu, data Bea Cukai China menyatakan impor tembaga olahan pada April 2017 turun 30% month on month (mom) menjadi 300.000 ton. Kondisi ini berbalik dari performa pada tiga bulan pertama 2017.
Pada kuartal I/2017, impor tembaga Negeri Panda meningkat 8,5% year on year (yoy) menjadi 4,31 juta ton. Adapun pengapalan masuk bijih tembaga dan tembaga olahan ke China pada Maret 2017 meningkat 26% mom menjadi 430.000 ton dari 340.000 ton pada bulan sebelumnya.
“Ada risiko harga jatuh ke level terendah baru 2017, bahkan ke posisi setelah pemilu pada November 2016,” paparnya seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (17/5/2017).
Sebelumnya pada Februari 2017, investor berspekulasi penyerapan AS di bawah komando Presiden Donald Trump akan meningkatkan anggaran untuk pembangunan jalan, bandara, dan jembatan. Selain itu, harga ditopang hambatan produksi di sejumlah tambang besar di Cile, Indonesia, dan Peru.
Dalam waktu dekat, harga tembaga berpeluang merosot ke US$4.900 per ton karena melemahnya permintaan. Namun, ketika fundamental pasar membaik, harga bisa kembali melejit ke US$5.785 per ton pada kuartal IV/2017.