Bisnis.com, JAKARTA - Harga bijih besi atau iron ore diprediksi turun tahun ini setelah sempat melonjak pada 2016, merujuk pada kajian bank investasi global RBC Capital Markets.
Hal tersebut seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (5/1/2017), analis RBC mengatakan harga bijih besi naik 81% pada 2016 setelah stimulus dari China yang mempertahankan produksinya yang diikuti oleh naiknya permintaan, kendati suplai untuk industri pertambangan meningkat.
“Kami percaya harga bijih besi tidak akan naik dari harga saat ini dan diprediksi akan terpukul pada 2017,” katanya.
Sementara itu, analis RBC lebih positif dalam meramalkan outlook untuk logam dasar yang juga naik tahun lalu.
“Kekuatan harga terus berlanjut pada kuartal I/2017 kepada yang disetir oleh peningkatan indikator ekonomi dan pengaruh musiman. Meski kami memperkirakan kenaikan harga yang lebih jauh bakal dibatasi oleh valuasi,” ujarnya.
Iron ore dengan kadar 62% di Qingdao yang menunjukkan kenaikan harga dalam 2 tahun berturut-turut menjadi US$83,58 pada 12 Desember turun 0,9% menjadi US$77,25% berdasarkan Metal Bulletin Ltd. Namun, pada 3 bulan terakhir pada 2016, menguat menjadi 41%.
Pada saat yang sama, pasokan bijih besi meningkat, seperti perusahaan pelabuhan di China yang produksinya volume teritinggi dengan naik 2,7% menjadi 113,95 juta ton pada akhir pekan tahun lalu.
Kebanyakan ekonom dari perbankan memprediksi harga iron ore akan melemah setelah lonjakan yang mengejutkan pada 2016. Morgan Stanley mencatatkan komoditas bahan baku baja tersebut di antara tiga logam terbawah, sementara Barclays Plc memprediksi harga turun sekitar US$50 pada kuartal III/2017 seiring dengan landainya pasar properti di China.