Bisnis.com, JAKARTA — Produksi batu bara China yang sedang meningkat pesat jauh melampaui permintaan pada awal musim dingin, menyebabkan persediaan membengkak dan harga anjlok. Menurut para analis, harga batu bara berpeluang terus turun.
Sebuah tolok ukur harga batu bara pembangkit listrik di China telah turun sekitar 9% sejak akhir September ke level terendah dalam 18 bulan sebesar 790 yuan atau sekitar US$108 per ton.
Sementara permintaan bahan bakar fosil biasanya akan meningkat saat musim dingin mendekat yang mendorong permintaan listrik, persediaan yang melimpah dan pertumbuhan ekonomi yang melambat membebani harga.
Baca Juga : Tungku Produksi Batu Bara Tetap Memanas di China |
---|
"Longsoran persediaan menghancurkan pasar. Pasokannya terlalu banyak," kata Han Lei, seorang analis di Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batubara China, dilansir dari Bloomberg, Kamis (19/12/2024).
Han mengatakan harga kemungkinan akan turun menjadi sekitar 730 yuan per ton menjelang liburan Tahun Baru Imlek yang dimulai pada akhir Januari sebelum pulih, tetapi harga bisa memakan waktu lebih lama untuk mencapai titik balik jika stok tetap tinggi.
Persediaan batu bara China telah didorong oleh melonjaknya produksi dalam negeri, yang mencapai rekor tertinggi bulan lalu, dan meningkatnya impor karena otoritas memprioritaskan keamanan energi daripada pemotongan emisi.
Upaya untuk menambang lebih banyak batu bara secara lokal dimulai pada 2022, ketika invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga energi dan menyebabkan kekurangan listrik di China.
Ekonomi terbesar di Asia itu menyumbang lebih dari setengah konsumsi batu bara global, dan ketergantungannya yang berkelanjutan pada bahan bakar fosil membuat perjuangan untuk mengendalikan pemanasan global menjadi jauh lebih sulit.
Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan permintaan batu bara di seluruh dunia akan mencapai rekor tertinggi baru setiap tahun setidaknya hingga 2027. Laporan terbaru IEA itu membalikkan perkiraan sebelumnya bahwa permintaan mencapai puncaknya tahun lalu.
Menurut data terbaru yang tersedia, stok batu bara negara itu tumbuh 12% dalam dua bulan hingga Oktober 2024. Pihak berwenang tampaknya tidak terlalu khawatir dengan kelebihan pasokan. IEA sementara itu, menetapkan target volume penambangan mencapai angka rekor 4,8 miliar ton batu pada 2025.
China International Capital Corp. memperkirakan bahwa permintaan batu bara negara itu akan naik 2,3% tahun depan. Ditambah dengan peningkatan produksi sebesar 1,2%, hal itu akan mengembalikan keseimbangan pasar, meskipun harga rata-rata kemungkinan akan lebih rendah dari tahun ini.
Fengkuang Coal Logistics dalam sebuah catatan mengatakan sentimen pasar cukup pesimistis dan pembeli menjauh dari pasar spot sambil menunggu harga mencapai titik terendah. Jumlah kapal yang berlabuh di pelabuhan batu bara di sekitar Laut Bohai hanya sekitar setengah dari level pada titik yang sama tahun lalu, yang menyoroti lemahnya permintaan.
Pasar batu bara China telah mengalami penurunan yang stabil sejak akhir September dan telah turun 14% dari level tertingginya di awal tahun. Menurut laporan di platform perdagangan Erdos, utilitas memiliki persediaan melimpah yang menghalangi pembelian, sementara permintaan industri tetap lemah.
Erdos, secara lebih rinci menyatakan bahwa harga batu bara secara keseluruhan sedang dalam tren menurun, dan belum terlihat berada di titik terendah untuk saat ini. Sementara itu, pembelian masih didasarkan pada kebutuhan yang kaku, dan permintaan terutama didasarkan pada penurunan harga.
Mengenai prospek pasar masa depan, persediaan keseluruhan tinggi, dan kemungkinan pembelian skala besar oleh pembangkit listrik kecil, sehingga harga batu bara sulit naik.
"Dalam jangka pendek, pasar akan terus beroperasi dengan lemah, dan kemungkinan jatuh di bawah harga kontrak jangka panjang," demikian laporan Erdos.
Ramalan hingga 2027
Menurut data IEA, permintaan batu bara akan meningkat hingga hampir 8,9 miliar ton pada 2027, sekitar 1% lebih tinggi dari level 2024. Realitanya dapat melampaui perkiraan saat ini, karena permintaan secara konsisten melampaui prediksi IEA dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050 dan membatasi pemanasan global sesuai dengan perjanjian Paris, penggunaan batu bara harus turun tajam pada dekade ini. Bumi mungkin telah mencapai suhu 1,5 derajat Celcius di atas level praindustri, yang merupakan indikasi bahwa aksi iklim kolektif dunia telah gagal.
Sementara permintaan bahan bakar fosil itu akan berkurang akibat melonjaknya penggunaan turbin angin dan panel surya, bahkan kecepatan yang memecahkan rekor belum cukup untuk menghentikan peningkatan penggunaan batu bara.
"Proyeksi kami menunjukkan permintaan global untuk batu bara mencapai titik jenuh hingga 2027 bahkan ketika konsumsi listrik meningkat tajam," kata Keisuke Sadamori.