Bisnis.com, JAKARTA-- Rencana PT Bursa Efek Indonesia untuk menghapuskan batas bawah saham Rp50 per lembar menjadi nol rupiah, apakah akan menguntungkan atau justru merugikan investor?
Bagi Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo, yang meminjam istilah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyebut perusahaan dengan harga saham Rp50 per lembar itu ibarat zombie. Hidup segan, mati tak mau.
Meski belum disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dia menilai pihak otoritas telah memberikan restu dilepaskannya batas artifisial bawah harga saham Rp50 per lembar. Hal itu ditunjukkan saat PT Bank Pundi Indonesia Tbk. (BEKS) yang kini menjadi PT BPD Banten Tbk. menggelar rights issue pada harga Rp18 per lembar.
"Bu Sri Mulyani menengarai ada perusahaan-perusahaan zombie yang harga sahamnya Rp50 tetapi enggak mati-mati. Munculnya emiten zombie itu membuat auto rejection Rp50 harus ditinjau," ujarnya saat berbincang dengan Bisnis.com, Selasa (20/12/2016).
Program 'Yuk! Nabung Saham' yang diluncurkan BEI tidak sejalan dengan batas bawah Rp50 per lembar. Lantaran, jargon 'belilah saham di bawah Rp50 di pasar negosiasi, dan jual pada harga Rp50 di pasar reguler' dinilai tidak mendidik bagi investor.
Jargon itu mengajarkan investor untuk membeli saham-saham zombie. Pelaku pasar seyogyanya mengetahui bahwa kantong kempis adalah risiko saat berinvestasi saham. Ekuitas bakal tergerus habis.
Emiten-emiten zombie harus dihilangkan dari lantai bursa. Perusahaan berjenis itu juga diperkirakan tidak membayar pajak lantaran merugi. Pemerintah tidak mendapatkan apapun dari perusahaan-perusahaan zombie.
Dalam forum-forum yang berisi analis dan pelaku pasar, beberapa hari belakangan hangat membicarakan terkait rencana dihapuskannya batas bawah harga saham Rp50 per lembar. Sejumlah analis dan pelaku pasar menilai beleid itu bakal merugikan investor.