Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih ragu relaksasi pembelian kembali saham emiten akan mampu mengangkat kembali indeks harga saham gabungan dalam waktu dekat, sebagaimana terjadi pada 2013.
Pasalnya, kata dia, kondisi saat ini berbeda dengan situasi dua tahun lalu saat kejatuhan IHSG digerakkan lebih banyak oleh fundamental ekonomi Tanah Air yang memburuk. Defisit transaksi berjalan melebar ke posisi 4,4% produk domestik bruto di tengah spekulasi pemangkasan stimulus moneter AS (taper tantrum).
Saat ini, kata Lana, sentimen negatif dari eksternal datang bertubi-tubi, mulai dari spekulasi kenaikan suku bunga the Fed pada September yang disusul oleh devaluasi yuan serta pemburukan manufaktur China, ekonomi terbesar kedua di dunia.
"Di tengah global panic selling seperti ini, efektivitasnya (buyback) minim. Tapi kalau tidak ada usaha mencegah (kejatuhan IHSG lebih lanjut), juga tidak benar," ungkap Lana.
Menurutnya, investor menarik dana dari pasar modal global untuk dikonversi ke dalam aset berdenominasi dolar AS atau Swiss frank yang saat ini dianggap safe haven.
Otoritas Jasa Keuangan pekan lalu mengeluarkan surat edaran berupa buyback saham oleh emiten sebanyak 7,5%-20% dari modal disetor tanpa harus melalui rapat umum pemegang saham.
Kebijakan itu diterbitkan menyusul fluktuasi IHSG dalam beberapa bulan terakhir. IHSG selama tahun berjalan sudah merosot 17,05% ke 4.335. Tahun ini IHSG pernah mencapai level tertinggi, pada 7 April 2015, sebesar 5.223. Dari level itu hingga saat ini IHSG sudah melemah 21,51%.