Bisnis.com, JAKARTA- PT Phapros Tbk (Non listed) mencatatkan pertumbuhan penjualan sebesar 56% pada semester I/2015 dibandingkan dengan kinerja dalam periode yang sama tahun lalu senilai Rp193 miliar.
Sejalan dengan pertumbuhan penjualan, laba bersih Phapros pada paruh pertama tahun ini juga naik sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya senilai Rp2,3 miliar menjadi Rp23,1 miliar.
"Semester awal ini Phapros menunjukkan pertumbuhan 56% dibandingkan dengan semester I tahun lalu. Hal ini karena kami mampu mengatur stok level produk-produk yang ada di pasar,” kata Iswanto, Direktur Utama PT Phapros Tbk, dalam keterangan pers, Jumat (7/8).
Total penjualan mencapai Rp302 miliar ditopang oleh kinerja penjualan produk generik sebesar 55,2%.
Menurutnya, kontribusi generik tetap menjadi yang utama, sejak tahun-tahun sebelumnya.
Tahun lalu, kontribusi produk generik menyumbang senilai Rp103,4 miliar, sementara untuk tahun ini melejit menjadi Rp166,7 miliar.
"Kami prediksi hingga akhir tahun ini komposisinya bisa mencapai 57,5% atau sekitar Rp400 miliar dari seluruh total penjualan,” katanya.
Untuk meningkatkan kinerja di semester II/2015, Phapros, akan mengoptimalkan performa seluruh portofolio produk yang dimiliki.
Contohnya saja, produk Obat Generik Berlogo (OGB). Phapros juga akan memprioritaskan produk-produk dengan margin yang baik, sedangkan produk branded ethical (obat dengan resep dokter) akan masuk ke pasar baru, dan obat jual bebas (OTC) akan diperkuat dengan pemasaran produk-produk baru.
Kedepannya, perusahaan akan mengembangkan regular market dan memonitor ketat perubahan nilai kurs agar tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap harga pokok, sehingga pada akhir tahun ini target penjualan bisa tercapai.
Sebelumnya, Iswanto mengatakan kontribusi program JKN terasa signifikan dalam memengaruhi kinerja perusahaan.
Tidak hanya mengandalkan, JKN, tim pemasaran Phapros tetap memperluas pemasaran produk generik bermerek di rumah sakit non BPJS di Tanah Air.
Dia mengatakan penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS yang terus terdegradasi hingga di atas Rp13.000 sampai saat ini sangat membebani keadaan finansial industri farmasi nasional, mengingat 90% bahan baku farmasi masih harus diperoleh secara impor.
"Surprise juga melihat hasilnya, itu menunjukkan pembenahan pengeluaran produk tahun lalu berjalan baik," ujarnya.