Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah saat ini tengah merampungkan kebijakan perpajakan baru bagi aset kripto. Pelaku pedagang aset kripto pun berharap pengenaan pajak yang adil atas transaksi kripto di Tanah Air.
Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah merampungkan kebijakan perpajakan baru untuk dua instrumen digital dan investasi yang kian populer, yakni aset kripto serta logam mulia (bullion).
Langkah tersebut merupakan bagian dari inisiatif besar untuk memperluas cakupan pemajakan atas transaksi digital yang akan diterapkan secara lebih sistematis mulai 2026.
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 pada 1 Mei 2022, aset kripto telah menjadi bagian dari sistem perpajakan nasional.
DJP mencatat bahwa hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun. Adapun, kontribusi dari pajak transaksi kripto sebesar Rp1,2 triliun.
CEO Tokocrypto Calvin Kizana mengatakan pelaku perdagangan aset kripto menyambut baik proses penyusunan kebijakan perpajakan aset kripto yang sedang difinalisasi DJP.
"Ini [finalisasi kebijakan pajak kripto] menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatur industri dengan pendekatan yang inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi dan keuangan digital," ujar Calvin dalam keterangan tertulis pada Kamis (17/7/2025).
Menurutnya, pengenaan pajak yang adil dan proporsional akan mendukung pertumbuhan industri. Calvin juga berharap agar revisi aturan perpajakan mempertimbangkan status aset kripto yang kini berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, bukan lagi komoditas.
Saat ini, kripto masih dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% dan pajak penghasilan (PPh) final 0,1%, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 68 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024.
Namun, menurutnya apabila kripto diperlakukan sebagai produk keuangan, maka seharusnya tidak dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya. Alhasil, revisi PMK Nomor 81 dinilai bisa mengakomodasi hal tersebut.
Calvin menambahkan, meskipun regulasi pajak kripto di Indonesia sudah cukup moderat dibandingkan dengan negara lain, seperti AS yang mengenakan PPh hingga 37% atas capital gain dari aset digital, masih ada ruang untuk penyempurnaan.
"Beberapa negara seperti Thailand bahkan telah mengambil langkah progresif dengan membebaskan pajak penghasilan pribadi atas transaksi kripto lokal hingga 2029. Ini adalah sinyal bahwa pendekatan fiskal yang suportif bisa mendorong daya saing industri," ujar Calvin.
Sebelumnya, CEO Triv Gabriel Rey mengatakan seiring dengan beralihnya pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK pada awal tahun ini, pelaku perdagangan aset kripto berharap terdapat dukungan adanya kelonggaran pajak transaksi kripto.
"Harapan kami, karena ini [aset kripto] sudah masuk sektor keuangan, pajak kripto bisa diturunkan," tuturnya.
Dia juga mengatakan telah menyampaikan usulan kepada OJK agar ketentuan PPN untuk transaksi kripto yang besar dihapuskan.
"Kalau dihapuskan [PPN aset kripto], transaksi otomatis melonjak," kata Gabriel.