Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak global merosot hingga 6% setelah pasar memperkirakan gencatan senjata antara Iran dan Israel akan meredakan risiko gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah.
Namun, gencatan senjata tersebut dinilai rapuh setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuduh kedua belah pihak telah melanggarnya hanya beberapa jam setelah diumumkan.
Berdasarkan data Reuters pada Rabu (25/6/2025), harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak Agustus turun US$4,34 atau 6,1% menjadi US$67,14 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) anjlok US$4,14 atau 6,0% ke level US$64,37 per barel.
Kedua harga acuan tersebut mencatat penutupan terendah masing-masing sejak 10 Juni 2025 untuk Brent dan 5 Juni 2025 untuk WTI, atau sebelum Israel melancarkan serangan kejutan terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran pada 13 Juni 2025 lalu.
Tamas Varga, analis senior di PVM Oil Associates mengatakan, premi risiko geopolitik yang terbentuk sejak serangan pertama Israel hampir dua pekan lalu kini benar-benar menguap.
Pada Senin sebelumnya, Brent dan WTI juga telah mencatat penurunan lebih dari 7%, setelah sebelumnya melonjak ke level tertinggi lima bulan akibat serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran.
Baca Juga
Keterlibatan langsung AS dalam konflik memicu kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan di Selat Hormuz, jalur pelayaran sempit antara Iran dan Oman yang menjadi jalur pengiriman 18–19 juta barel per hari minyak mentah dan bahan bakar, atau hampir seperlima konsumsi global.
Harga minyak juga tertekan setelah Trump menyatakan bahwa China—importir minyak terbesar dunia—masih dapat melanjutkan pembelian minyak dari Iran.
Selain faktor geopolitik, tekanan terhadap harga juga datang dari ekspektasi peningkatan pasokan. Perusahaan energi nasional Kazakhstan, KazMunayGaz, meningkatkan proyeksi produksi minyak di ladang Tengiz yang dikelola Chevron menjadi 35,7 juta ton metrik pada 2025, naik dari estimasi sebelumnya sebesar 34,8 juta ton.
Kazakhstan merupakan anggota aliansi OPEC+, kelompok negara produsen yang mencakup OPEC dan sekutunya. Sejumlah anggota OPEC+ lainnya juga tercatat mulai meningkatkan produksi.
Di Guyana, produksi minyak naik menjadi 667.000 barel per hari (bph) pada Mei dari 611.000 bph pada April, didorong peningkatan output di dua dari tiga fasilitas produksi yang dioperasikan oleh Exxon Mobil.
Faktor Ekonomi dan Stok Minyak AS
Sentimen negatif juga datang dari penurunan tak terduga pada indeks kepercayaan konsumen AS bulan ini, seiring meningkatnya kekhawatiran rumah tangga terhadap ketersediaan lapangan kerja dan ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan tarif Presiden Trump.
Presiden Federal Reserve New York John Williams menyebut pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan melambat dengan tekanan inflasi yang lebih tinggi tahun ini, terutama karena dampak tarif. Hal tersebut mengindikasikan The Fed belum akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat, meskipun langkah tersebut dapat membantu permintaan minyak.
Di sisi lain, data persediaan minyak AS dari American Petroleum Institute (API) dan Energy Information Administration (EIA) dijadwalkan dirilis minggu ini.
Analis memperkirakan cadangan minyak mentah AS turun sekitar 800.000 barel selama sepekan yang berakhir pada 20 Juni. Jika akurat, ini akan menjadi penurunan stok selama lima pekan berturut-turut, pertama kali sejak Januari.
Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu terjadi peningkatan stok sebesar 3,6 juta barel, sementara rata-rata penurunan dalam lima tahun terakhir mencapai 2,5 juta barel.