Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah dunia tergelincir tajam setelah OPEC+ sepakat menaikkan produksi secara signifikan, memperbesar risiko kelebihan pasokan global di tengah permintaan yang rapuh akibat tekanan perang dagang.
Berdasarkan data Bloomberg, Senin (5/5/2025), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak Juni 2025 merosot 3,67% ke level US$56,16 per barel pada pukul 07.15 WIB. Sementara itu, harga minyak patokan global, Brent, terpantau anjlok 3,41% ke level US$59,2 per barel.
Pada Sabtu pekan lalu, OPEC+ sepakat menaikkan produksi lebih dari 400.000 barel per hari mulai Juni mendatang. Para pemimpin OPEC+ juga menggulirkan sanksi terhadap anggota seperti Kazakhstan yang melampaui batas produksi.
Kenaikan pasokan tersebut mengikuti lonjakan yang sama bulan lalu, ketika kelompok ini mengejutkan pasar dengan menggandakan volume tambahan dari yang semula direncanakan.
Aliansi yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia itu tengah mempercepat pembalikan kebijakan pembatasan produksi yang selama ini diterapkan untuk menopang harga, namun merugikan pangsa pasar mereka sendiri.
Arab Saudi, menurut sejumlah delegasi, memberi sinyal bahwa kenaikan serupa mungkin kembali dilakukan dalam waktu dekat.
Baca Juga
Langkah OPEC+ memicu lonjakan volume transaksi, dengan sekitar 182.000 kontrak Brent diperdagangkan hanya dalam setengah jam pertama sesi Asia.
Harga minyak telah tertekan sepanjang 2025, nyaris menyentuh level terendah dalam empat tahun yang tercatat April lalu. Kebijakan dagang Presiden AS Donald Trump dianggap memperburuk iklim pertumbuhan, merusak kepercayaan investor, dan melemahkan permintaan energi.
Direktur Analisis Minyak ICIS Ajay Parmar mengatakan kenaikan produksi OPEC+ ini mustahil diserap oleh pasar. Ia menyoroti lemahnya pertumbuhan permintaan, terutama setelah gelombang tarif baru diberlakukan.
"Pertumbuhan permintaan lemah, terutama dengan pemberlakuan tarif baru-baru ini," katanya seperti dikutip Bloomberg.
Morgan Stanley pun menurunkan proyeksi harga Brent menjadi US$62,50 per barel untuk kuartal III dan IV/2025, turun US$5 dari prediksi sebelumnya. Analis Morgan Stanley Martjin Rats mengatakan penambahan pasokan ini memperparah surplus yang sudah terbentuk di pasar.
Jika berlangsung lama, penurunan harga energi bisa menjadi angin segar bagi bank sentral seperti Federal Reserve yang akan bersidang pekan ini. Harga minyak dan bahan bakar yang lebih murah berpotensi meredam tekanan inflasi yang dipicu tarif.
Presiden Trump, yang dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah akhir bulan ini, telah mendorong OPEC+ untuk meningkatkan produksi guna menurunkan harga energi.
Di sisi lain, Arab Saudi tengah berupaya memperkuat hubungan dengan Washington, yang saat ini juga menjajaki kesepakatan nuklir dengan Iran, rival Saudi di OPEC.
Dalam wawancara dengan NBC, Trump menyatakan terbuka untuk menurunkan tarif terhadap China, mengingat beban tarif saat ini sudah membuat kedua ekonomi terbesar dunia itu nyaris berhenti berdagang satu sama lain.