Bisnis.com, JAKARTA — Harga emas melanjutkan rekor kenaikannya dan menembus level US$2.900 untuk pertama kalinya seiring dengan meningkatnya permintaan karena ancaman tarif baru dari Presiden AS Donald Trump. Kenaikan juga terjadi pada harga CPO, sedangkan harga batu bara terpantau melemah.
Mengutip Reuters pada Selasa (11/2/2025) harga emas di pasar spot melonjak 1,6% menjadi US$2.905,24 per ounce, setelah mencapai rekor tertinggi US$2.911,30. Sementara itu, harga emas berjangka AS menguat 1,6% pada US$2.934,40.
"Jelas perang tarif berada di balik kenaikan ini; hal ini hanya mencerminkan ketidakpastian dan ketegangan dalam situasi perdagangan global," kata analis Marex Edward Meir.
Trump mengumumkan rencana pada Minggu untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 25% pada semua impor baja dan aluminium. Dia juga mengatakan akan mengumumkan tarif timbal balik pada minggu ini, menyesuaikan tarif yang diberlakukan oleh negara lain dan segera menerapkannya.
Tarif dapat memperburuk inflasi AS, dengan investor menunggu data Indeks Harga Konsumen (CPI) dan Indeks Harga Produsen (PPI) AS yang akan dirilis pada minggu ini.
Jika data CPI dan PPI memberikan kejutan pada sisi negatifnya, hal ini mungkin akan membebani dolar dan meningkatkan harga emas, sementara kejutan pada sisi positifnya dapat mendorong kenaikan imbal hasil (yield) AS dan membebani emas, meskipun tidak terlalu berpengaruh pada ketahanan pasar dan minat pembeli saat penurunan, kata Meir.
Baca Juga
Ketua Federal Reserve Jerome Powell juga akan memberikan kesaksian di depan Kongres pada hari Selasa dan Rabu.
Emas telah mencapai rekor tertingginya yang ketujuh tahun ini, didorong oleh ancaman tarif Trump, yang telah memicu ketidakpastian terhadap pertumbuhan global, perang dagang, dan inflasi yang tinggi, sehingga mendorong investor beralih ke emas sebagai aset safe-haven.
Harga Batu Bara
Sementara itu, berdasarkan data dari Bar Chart, harga batu bara kontrak Februari 2025 di ICE Newcastle turun 1,49% ke level US$105.65 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 melemah 1,59% ke level US$109 per metrik ton.
Laporan Tim ekonom Bank Dunia, Paolo Agnolucci, Matias Guerra Urzua dan Nikita Makarenko, menyebut, harga batu bara thermal kemungkinan akan turun pada 2025 dan 2026 karena konsumsi global yang lebih rendah.
Bank Dunia mengatakan, konsumsi batu bara thermal global diperkirakan akan menurun pada 2025 dan semakin menyusut pada 2026, menyusul kenaikan sebesar 1% pada enam bulan pertama 2024.
Mereka menyebut, permintaan listrik tambahan di China, konsumen batu bara terbesar di dunia, sebagian besar dipenuhi oleh energi terbarukan dan pembangkit listrik tenaga air, sementara India mendorong peningkatan konsumsi batu bara global pada paruh pertama tahun 2024.
"Konsumsi batu bara global diperkirakan akan sedikit menurun pada 2025, dan terus menurun pada 2026, seiring dengan semakin cepatnya peralihan ke energi terbarukan dan gas alam untuk pembangkit listrik, sehingga menggantikan batubara," jelas laporan tersebut.
Tim peneliti Bank Dunia melihat adanya penurunan harga batu bara thermal sebesar 12% pada 2025 dan 2026. Saat ini, harga batu bara termal Newcastle berada pada kisaran US$114,55 per ton.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Senin (10/2/2025) kontrak Februari 2025 menguat 46 poin ke 4.827 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga naik 85 poin pada level 4.686 ringgit per ton.
Melansir Reuters, Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) menyebut, produksi minyak sawit negara tersebut tetap terjaga meskipun ada potensi gangguan akibat banjir yang melanda beberapa negara bagian dalam beberapa bulan terakhir.
"Meskipun gangguan lokal mungkin terjadi karena genangan air sementara dan penundaan panen, dampak keseluruhan terhadap produksi negara diperkirakan dapat dikendalikan," kata Direktur Jenderal MPOB Ahmad Parveez Ghulam Kadir.
Departemen Meteorologi Malaysia bulan lalu mengatakan bahwa Musim Timur Laut, yang dimulai pada 5 November tahun lalu, diperkirakan akan berlanjut hingga Maret. Curah hujan deras yang terus-menerus selama beberapa hari dapat menyebabkan banjir di dataran rendah dan daerah rawan banjir, demikian peringatannya.
Malaysia mengalami banjir terparah dalam beberapa dekade pada November tahun lalu, yang menyebabkan lebih dari 90.000 orang mengungsi. Gelombang banjir lainnya pada bulan Januari memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka di negara bagian selatan Johor, serta di Sarawak dan Sabah di pulau Kalimantan.
Sarawak dan Sabah mencakup sekitar 55% dari 5,61 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Malaysia, dan menyumbang 43,6% produksi minyak kelapa sawit mentah pada tahun lalu.
Ahmad Parveez mengatakan MPOB akan bekerja sama dengan para petani untuk membantu pemulihan industri.
"Meskipun ada dampak jangka pendek yang mungkin terjadi, sektor minyak sawit Malaysia sudah sangat siap untuk menjaga produksinya dan memastikan pasokan global yang stabil," katanya.
Terkait permintaan minyak sawit masa depan dari perusahaan-perusahaan utama, Ahmad Parveez mengatakan permintaan dari India, China, dan Eropa stabil.
Di India, dia mengatakan para penyuling telah beralih ke minyak kedelai karena margin penyulingan yang lebih baik, namun permintaan diperkirakan akan meningkat menjelang bulan puasa Ramadan.
Sementara itu, di China, impor di masa depan akan bergantung pada daya saing harga dan kondisi pasar secara keseluruhan, tambahnya.
"Di Eropa, permintaan masih relatif stabil, meskipun tertundanya Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) berarti tidak ada lagi urgensi untuk melakukan penimbunan. Impor dapat berfluktuasi berdasarkan pergerakan harga dan cara industri beradaptasi terhadap perubahan peraturan," jelasnya.