Bisnis.com, JAKARTA — Harga emas kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa seiring dengan sikap investor yang mencari aset safe-haven di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai perang dagang AS-China. Sementara itu, harga batu bara terpantau melemah, sedangkan CPO masih melanjutkan tren kenaikan
Melansir Reuters pada Kamis (6/2/2025), harga emas di pasar spot naik 0,8% menjadi US$2.865,61 per ons, setelah mencapai rekor tertinggi US$2.882,16. Sementara itu, emas berjangka Amerika Serikat (AS) tercatat 0,6% pada US$2.893 per ounce.
"Emas masih sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian perdagangan. Tarif dengan China dan pembalasannya membuat pasar gelisah, sehingga arus safe-haven tetap menjadi faktor dominan," kata wakil presiden dan ahli strategi logam senior di Zaner Metals, Peter Grant.
Awal pekan ini, China membalas tarif Presiden AS Donald Trump dengan mengenakan pungutan terhadap barang-barang AS, sehingga meningkatkan perang dagang. Sementara itu, Trump menyatakan tidak ada urgensi untuk berbicara dengan Presiden China, Xi Jinping, untuk meredakan ketegangan.
Sementara itu, Layanan Pos AS atau US Postal Service mengatakan akan kembali menerima semua surat masuk dan paket dari China dan Hong Kong sehari setelah menghentikan sementara layanan tersebut.
Tiga pejabat Federal Reserve AS memperingatkan tarif perdagangan Trump dapat mendorong inflasi, dan salah satu pejabat menyatakan ketidakpastian mengenai prospek harga memerlukan penurunan suku bunga yang lebih lambat.
Baca Juga
Laporan Ketenagakerjaan Nasional ADP menunjukkan perekonomian AS menambah 183.000 pekerjaan di sektor swasta pada bulan lalu, dibandingkan dengan perkiraan ekonom yang memperkirakan kenaikan sebesar 150.000.
"Ketenagakerjaan akan menjadi fokus penting minggu ini ... tetapi saya tidak berpikir bahwa apa pun akan berdampak signifikan terhadap ekspektasi The Fed terhadap kebijakan tersebut, kecuali jika hal tersebut benar-benar di luar jalur," kata Grant.
Harga Batu Bara
Sementara itu, berdasarkan data dari Bar Chart, harga batu bara kontrak Februari 2025 di ICE Newcastle turun 0,53% ke level US$111,90 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 melemah 0,09% ke level US$115,40 per metrik ton.
Melansir Reuters, impor bijih besi dan batu bara asal China berada pada jalur penurunan pada awal 2025, dengan penurunan impor pada bulan Januari ke level terendah dalam beberapa bulan.
Data dari Kpler menujukkan, impor semua jenis batubara China melalui laut diperkirakan sebesar 27,97 juta ton pada Januari 2025, turun 26% dari 37,59 juta ton pada Desember 2024.
Data bea cukai menunjukkan impor batubara sebesar 52,35 juta ton pada Desember 2024, tetapi ini termasuk kedatangan melalui jalur darat dari negara-negara tetangga seperti Mongolia dan Rusia.
Impor batu bara di masa lalu cenderung melemah pada Januari dan Februari seiring berlalunya puncak permintaan musim dingin, tetapi penurunan pada Januari tahun ini dibandingkan Desember 2024 jauh lebih besar dibandingkan 9% yang tercatat pada bulan Januari 2024 dan 10,9% dari bulan Januari 2023.
China, yang merupakan produsen, konsumen dan importir batu bara terbesar di dunia, mungkin memerlukan lebih sedikit batubara dari pasar lintas laut karena pasokan dalam negeri meningkat.
Produksi batu bara pada Desember 2024 mencapai 439 juta ton, naik 4,2% dari bulan yang sama tahun sebelumnya, sementara produksi tahunan naik 1,3% menjadi 4,76 miliar ton, menurut data resmi yang dirilis pada 17 Januari.
Peningkatan produksi batu bara yang kuat telah menyebabkan melemahnya harga dalam negeri, dengan konsultan SteelHome menilai batu bara termal di Qinhuangdao berada pada harga 765 yuan (US$106) per ton pada minggu ini, turun 12,6% dari harga tertinggi pada 2024 sebesar 875 yuan pada September, dan merupakan yang terlemah sejak April 2021.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Rabu (5/2/2025) kontrak Februari 2025 menguat 23 poin ke 4.614 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga menguat 22 poin pada level 4.438 ringgit per ton.
Mengutip The Edge, Anggota Parlemen Paya Besar Datuk Mohd Shahar Abdullah mengatakan, Malaysia perlu beralih ke produk-produk bernilai tinggi seperti oleokimia dan biodiesel daripada hanya mengandalkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) tanpa strategi nilai tambah yang solid.
Dia mengatakan, Indonesia yang menerapkan kebijakan wajib biodiesel B35—B40 sejak 2020 untuk menstabilkan permintaan dalam negeri, melihat harga minyak sawit lebih stabil dibandingkan Malaysia yang 80% bergantung pada ekspor minyak mentah.
Menurutnya, harga CPO Malaysia masih rentan terhadap fluktuasi tajam dan mudah dipengaruhi oleh spekulasi pasar global. Shahar menilai, Malaysia terjebak dalam dilema volume melawan nilai.
Meskipun ekspor ke Uni Eropa (UE) hanya menyumbang 14% dari total ekspor minyak sawit Malaysia pada tahun 2023, tarif premi UE, secara pro-rata, sebenarnya lebih tinggi dibandingkan dengan pasar India dan China.
"Selain melihat India dan China sebagai pasar volume, kita perlu melihat UE sebagai pasar volume yang menawarkan nilai tinggi. Terlebih lagi, UE masih menjadi importir utama minyak inti sawit selama lima tahun terakhir," ujarnya.