Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas menguat menyusul seruan Presiden AS Donald Trump untuk menurunkan suku bunga. Harga CPO juga terpantau mengalami kenaikan, sedangkan harga batu bara terkoreksi.
Mengutip Bloomberg pada Jumat (24/1/2025), harga emas di pasar spot terpantau naik 0,69% menjadi US$2.773,91 per ons pada pukul 10.20 WIB.Sedangkan indeks dolar AS terpantau turun 0,2%, membuat emas yang dihargakan dalam dolar AS menjadi lebih murah.
"Sebagian darinya adalah dolar, yang menguat pagi ini dan kemudian dijual, sehingga mendorong emas menjauh dari posisi terendahnya," kata Daniel Pavilonis, ahli strategi pasar senior di RJO Futures dikutip dari Reuters.
Dia menyebut harga emas merupakan reaksi dari kebijakan Gedung Putih. "Saya pikir sebagian dari volatilitas itu adalah antisipasi terhadap hal itu," katanya.
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF), menekankan komitmennya untuk membalikkan inflasi. Dia juga melintasi kewenangan bank sentral dengan mengatakan mendorong penurunan suku bunga segera. Dia juga mendesak negara-negara lain untuk mengadopsi langkah-langkah serupa untuk mengatasi tantangan ekonomi global.
Para pedagang melihat pengumuman ini membuat peluang Federal Reserve AS tidak akan mengubah suku bunga pada pertemuannya tanggal 28-29 Januari menjadi 99,5%. Proyeksi itu terangkum dalam FedWatch Tool milik CME Group. Ketidakpastian tentang rencana perdagangan Trump terjadi karena ia mengatakan tarif impor dari Kanada, Meksiko, China, dan Uni Eropa dapat diumumkan pada tanggal 1 Februari.
Baca Juga
Harga Batu Bara
Berdasarkan data dari Bar Chart, harga batu bara kontrak Febaruari 2025 di ICE Newcastle turun 2,38% ke level US$119,10 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Maret 2025 terkoreksi 1,34% ke level US$121,80 per metrik ton.
Laporan International Energy Agency (IEA) yang dikutip Jumat (24/1/2025) menyebut, penggunaan energi terbarukan yang besar akan menghambat pertumbuhan penggunaan batu bara meskipun permintaan listrik meningkat, dengan China – konsumen batu bara terbesar di dunia – tetap menjadi porosnya.
Setelah mencapai titik tertinggi baru pada 2024, permintaan global untuk batu bara diprediksi akan mencapai titik terendah dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini seiring dengan karena lonjakan daya terbarukan membantu memenuhi permintaan listrik yang melonjak di seluruh dunia.
IEA menyebut, penggunaan batu bara global telah bangkit kembali setelah anjlok pada puncak pandemi. Penggunaan Batu Bara diperkirakan akan naik menjadi 8,77 miliar ton pada 2024, sebuah rekor.
Menurut laporan tersebut, permintaan akan tetap mendekati level ini hingga 2027 karena sumber energi terbarukan memainkan peran yang lebih besar dalam menghasilkan listrik dan tingkat konsumsi batu bara menurun di China.
Sektor kelistrikan di China sangat penting bagi pasar batu bara global, dengan satu dari setiap tiga ton batu bara yang dikonsumsi di seluruh dunia dibakar di pembangkit listrik di negara tersebut.
Pada 2024, China terus mendiversifikasi sektor kelistrikannya, memajukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan mempercepat perluasan besar-besaran kapasitas tenaga surya fotovoltaik dan angin. Hal ini akan membantu membatasi peningkatan konsumsi batu bara hingga 2027,
“Penerapan teknologi energi bersih yang pesat tengah mengubah sektor kelistrikan global, yang menyumbang dua pertiga penggunaan batu bara dunia. Akibatnya, permintaan global terhadap batu bara akan mencapai titik jenuh hingga 2027 meskipun konsumsi listrik meningkat tajam,” jelas Director of Energy Markets and Security IEA, Keisuke Sadamori.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Kamis (23/1/2025) kontrak Februari 2025 menguat 4 poin ke 4.468 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Maret 2025 juga naik tipis 1 poin pada level 4.320 ringgit per ton.
Mengutip Laporan S&P Global , pasar CPO diperkirakan akan tetap kuat pada 2025, menyusul kinerjanya yang lebih baik dibandingkan minyak nabati pesaingnya pada tahun lalu. Kinerja tersebut akan didorong oleh peningkatan berkelanjutan dalam pencampuran biodiesel, tarif yang lebih tinggi, dan permintaan tinggi yang berkelanjutan, sementara produksi tetap stagnan.
Menurut perkiraan oleh 12 lembaga industri dan pemerintah yang disurvei oleh S&P Global Commodity Insights, harga acuan CPO berjangka di bursa komoditas Malaysia diperkirakan akan mencapai rata-rata 4.222,7 ringgit per metrik ton atau setara US$942,77 pada 2025, naik 4,5% dari tahun sebelumnya,
Kontrak minyak sawit, yang memengaruhi harga minyak nabati internasional, mencapai rata-rata 4.041,9 ringgit per metrik ton pada 2024.
Mandat biodiesel, peningkatan konsumsi minyak nabati, dan faktor geopolitik yang memengaruhi minyak pengganti kemungkinan akan mendukung harga minyak sawit. Namun, permintaan yang lebih lemah dari yang diharapkan dari China dan India, kondisi cuaca, dan peningkatan produksi minyak nabati pengganti lainnya, menimbulkan beberapa risiko penurunan harga.
Di pasar fisik, harga minyak sawit mentah FOB Indonesia rata-rata US$995 per metrik ton pada 2024, lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata minyak kedelai FOB Argentina sebesar US$929 per metrik ton dan minyak bunga matahari FOB Laut Hitam sebesar US$931 per metrik ton pada tahun tersebut.
Tingkat stok yang lebih rendah di kedua produsen utama bersama dengan meningkatnya pungutan ekspor Indonesia dan konsumsi domestik yang lebih tinggi untuk mandat biodieselnya, kemungkinan akan mendukung harga minyak sawit tahun 2025. Adapun, Malaysia dan Indonesia menyumbang 85% dari pasokan minyak sawit dunia.