Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia memperpanjang penurunan pertamanya dalam enam sesi seiring dengan indikator teknis yang menunjukkan reli baru-baru ini mungkin sudah terlalu jauh.
Mengutip Bloomberg pada Selasa (7/1/2025), harga minyak jenis Brent turun 0,3% ke level US$76,08 per barel. per barel. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) melemah 0,4% ke level US$73,30 per barel.
Harga minyak berjangka membalikkan kenaikan pada perdagangan Senin setelah indeks kekuatan relatif sembilan hari menunjukkan harga berada pada level jenuh beli, sedangkan pola pergerakan bearish terlihat dalam spread harga WTI.
Harga minyak mentah kemungkinan akan kesulitan untuk mempertahankan kenaikan setelah minggu lalu menembus kisaran sempit yang telah diperdagangkan sejak pertengahan Oktober 2024. Hal tersebut seiring dengan ekspektasi akan kelebihan pasokan, kemungkinan kebangkitan produksi OPEC+ yang terhenti, dan permintaan yang lesu dari importir utama China membebani optimisme pasar.
Sementara itu, sejumlah pelaku pasar masih optimistis terkait harga minyak pada awal tahun. Analis termasuk Bank of America Corp. telah menegaskan kembali peringatan bahwa pasokan baru dari negara-negara non-OPEC akan melampaui pertumbuhan konsumsi global.
Mukesh Sahdev, kepala pasar komoditas minyak di Rystad Energy A/S menuturkan, harga minyak mungkin akan bertahan di sekitar level saat ini, kurang lebih dua dolar AS.
Baca Juga
"Tidak akan ada pergerakan harga yang besar sampai Trump menjabat akhir bulan ini," katanya.
Produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC turun 120.000 barel per hari menjadi 27,05 juta per hari pada bulan Desember, dengan Uni Emirat Arab menyumbang sebagian besar penurunan, menurut survei Bloomberg. Keuntungan moderat di Libya dan Nigeria diimbangi oleh penurunan serupa di Iran dan Kuwait.
Di pasar yang lebih luas, dolar memangkas penurunan tajam terhadap sebagian besar mata uang utama setelah Presiden terpilih AS Donald Trump membantah laporan Washington Post bahwa ia akan membatasi rencananya untuk tarif. Dolar yang lebih lemah membuat komoditas yang dihargakan dalam mata uang tersebut lebih menarik.