Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah dibuka melemah ke posisi Rp16.205 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Kamis (2/1/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka pada perdagangan dengan turun 0,46% atau 73,5 poin ke posisi Rp16.205 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat melemah 0,04% ke posisi 108,240.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Dolar Singapura menguat sebesar 0,19%, peso Filipina menguat 0,41%, yuan China menguat sebesar 0,01%, won Korea menguat 0,67%, dan baht Thailand menguat 0,25%,
Sementara itu mata uang yang melemah di antaranya, yen Jepang melemah 0,15%, ringgit Malaysia melemah 0,11%, rupee India melemah 0,05%, dolar Taiwan melemah sebesar 0,02%, dan dolar Hong Kong melemah 0,06%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi telah memprediksi bahwa untuk perdagangan hari ini (2/1/2025) mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp16.070-Rp16.150 per dolar AS.
Dia mengatakan bahwa pada perdagangan penutupan 2024 (31/12) mata uang rupiah ditutup menguat 10 poin ke level Rp16.132, setelah sebelumnya sempat melemah 20 poin ke level Rp16.142.
Ibrahim mengatakan bahwa terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru AS juga memberikan dorongan bagi dolar AS, karena kebijakannya berupa pelonggaran regulasi, pemotongan pajak, kenaikan tarif, dan pengetatan imigrasi dianggap pro-pertumbuhan dan inflasioner, dan kemungkinan akan membuat Federal Reserve tidak memangkas suku bunga dengan cepat pada 2025.
Dia menyatakan bahwa bank sentral AS memproyeksikan hanya dua kali pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada 2025 dan pasar sekarang memperkirakan hanya sekitar 35 basis poin pelonggaran untuk 2025.
Menurutnya, rentang perdagangan kemungkinan akan ketat yang terpengaruh liburan, dan fokus akan tertuju pada angka pengangguran mingguan dan data PMI manufaktur ISM, serta komentar dari anggota FOMC Thomas Barkin.
Selain itu, dia mengungkap bahwa aktivitas manufaktur China berkembang selama 3 bulan berturut-turut pada Desember lalu, karena serangkaian langkah stimulus baru terus memberikan dukungan, data indeks manajer pembelian menunjukkan pada Selasa lalu. Namun, kenaikan tersebut sedikit lebih rendah dari ekspektasi pasar dan di bawah pembacaan bulan sebelumnya.
"Hal ini memicu kekhawatiran tentang kesehatan industri jangka panjang dari ekonomi terbesar kedua di dunia, yang telah menderita perlambatan ekonomi dan sektor properti yang terkepung," ujarnya.
Kemudian, menurutnya pasar sedang menunggu kejelasan lebih lanjut tentang rencana Beijing untuk langkah-langkah stimulus pada 2025.