Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan Bitcoin (BTC) sebagai sesepuh aset kripto mengawali babak baru untuk mencapai harga US$100.000. Selain akibat kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden AS, posisinya pun semakin kuat lantaran mampu membuktikan perannya sebagai 'emas baru' di era digital.
Para lembaga investasi elit hingga tokoh manajer lindung nilai (hedge fund) ternama dunia pun perlahan mengakui, BTC tak mungkin diabaikan untuk masuk dalam portofolio. Lantas, apa saja pertimbangan mereka?
Salah satu tokoh investor ternama dari Duquesne Family Office, Stanley Druckenmiller menjadi salah satu yang paling mencolok karena pernah mengungkapkan ke publik baru-baru ini bahwa aset kripto dibutuhkan untuk mempertahankan targetnya meraih imbal hasil di kisaran 30% setiap tahun.
Terlebih, sudah terbukti bahwa satu dekade terakhir BTC mampu mengalahkan inflasi global dengan selisih positif 22,2%, sementara dolar AS justru kalah 33%.
Sejalan dengan itu, masyarakat dunia dianggapnya semakin cenderung menjadi lebih skeptis terhadap bank sentral dan kebijakan pemerintah secara umum. Tak heran, aset kripto terdesentralisasi macam BTC pun jadi incaran untuk melindungi nilai uangnya.
"Saya selalu bilang, saya tidak mau punya Bitcoin, tapi saya harus," ujarnya, seperti dilansir dari Forbes, Jumat (29/11/2024).
Senada, Paul Tudor Jones selaku tokoh pendiri Tudor Investment Corp. menjelaskan bahwa semua jalan yang ditempuh oleh pemerintah AS bersama bank sentral akan tetap mengarah pada inflasi.
Oleh sebab itu, bertaruh pada obligasi maupun aset fixed-income ujung-ujungnya boncos karena kalah dengan inflasi. Investor pun dalam tren membutuhkan porsi komoditas lebih melimpah dalam portofolionya, demi mengamankan proyeksi jangka panjang sebagai lindung nilai.
"Termasuk Bitcoin yang memiliki batas 21 juta token dan dikontrol ketat oleh algoritma komputer, tanpa kontrol perusahaan atau intitusi terpusat, dan manusia tidak bisa mengotak-atik itu. Jadi, saya pun percaya dengan posisi tersebut," ungkapnya.
Sekadar informasi, berdasarkan data Coinmarketcap ketika berita ini ditulis, BTC bernilai di kisaran US$96.000 dengan kapitalisasi pasar mencapai US$1,91 triliun. Saat ini, suplai total BTC yang beredar telah mencapai 19,79 juta token.
Adapun, mengutip platform edukasi kripto Pintu Academy dalam laporannya, BTC nyata-nyata telah mendorong inovasi ekosistem kripto semakin maju, sehingga posisinya sebagai emas digital bukan hanya julukan semata.
Warga berswafoto dengan latar logo Bitcoin di Terowongan Kendal, Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
"Perjalanan Bitcoin yang dimulai dari whitepaper Satoshi hingga menjadi 'emas digital' telah melalui banyak tahap. Meski sering menghadapi tantangan, Bitcoin terus bertahan dan menjadi katalis bagi inovasi di dunia aset kripto. Dukungan berbagai negara dan pengembangan teknologi terbaru semakin mengukuhkan posisi Bitcoin di pasar keuangan global," jelasnya.
Sekadar pengingat, Satoshi Nakamoto merilis whitepaper Bitcoin pada 31 Oktober 2008, menjelaskan konsep mata uang elektronik yang tidak memerlukan institusi tersentralisasi.
Nyatanya, whitepaper itu menarik perhatian para ahli kriptografi dan melahirkan konsep blockchain yang memungkinkan transaksi peer-to-peer (P2P) terdesentralisasi. Pada Januari 2009, Satoshi menambang blok pertama Bitcoin, Genesis Block, dengan menyertakan pesan terkait krisis keuangan global.
Lantas, transaksi pertama menggunakan Bitcoin dilakukan pada 22 Mei 2010, yang dikenal sebagai 'Bitcoin Pizza Day' ketika Laszlo Hanyecz membeli dua pizza dengan 10.000 BTC.
Di tahun-tahun berikutnya, Bitcoin mengalami pertumbuhan pesat, diikuti oleh peristiwa kontroversial seperti peretasan bursa Mt. Gox pada 2014, yang mencuri sekitar 850.000 BTC.
"Seiring waktu, Bitcoin mulai diterima secara global dan dianggap sebagai emas digital. Misalnya pada tahun 2021, El Salvador menjadi negara pertama yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah," tambahnya.
Selain itu, semakin banyak perusahaan besar seperti Microstrategy dan Fidelity yang melihat Bitcoin sebagai cadangan aset atau investasi.
Dengan teknologi seperti Taproot dan Lightning Network, Bitcoin pun terus berkembang dari sekadar aset investasi menjadi platform yang mendukung aplikasi lebih luas. Protokol Ordinals memungkinkan pengguna membuat NFT di jaringan Bitcoin, menambah utilitas baru pada jaringan ini.