Bisnis.com, JAKARTA — PT Sepatu Bata Tbk. (BATA) telah menutup pabrik dan membukukan kerugian yang membengkak imbas pandemi Covid-19. Namun, BATA masih optimistis tetap eksis dan tidak akan keluar dari pasar Indonesia.
Direktur Sepatu Bata Hatta Tutuko mengatakan pandemi Covid-19 telah menghantam operasional bisnis BATA di Indonesia.
"Covid-19 merusak tatanan di BATA yang tadinya profit. Sekarang belum mencapai perbaikan yang diinginkan," ujarnya dalam public expose di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Sejak pandemi Covid-19, BATA mencatatkan penurunan tajam penjualan hingga rugi. Pada kuartal III/2024, BATA masih membukukan rugi sebelum pajak sebesar Rp131,27 miliar. Bahkan ruginya membengkak lebih dari dua kali lipat atau 151% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp52,33 miliar.
Bengkaknya rugi terjadi seiring dengan penjualan yang turun 26% pada kuartal III/2024 menjadi Rp363,27 miliar, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp488,47 miliar.
Tahun ini, BATA pun menutup satu-satunya pabrik di Purwakarta. BATA juga telah menyelesaikan proses pemutusan kontrak kerja dan membayar pesangon kepada karyawan yang terkena dampaknya sebesar Rp16,7 miliar hingga Mei 2024. Berdasarkan catatan Bisnis, saat itu terdapat ratusan pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca Juga
Kini, BATA menjalankan bisnis dengan mengandalkan 100% produksi dari suplier lokal.
"Jalan keluarnya, kita kerja sama dengan suplier lokal agar perbaiki posisi keuangan," ujarnya.
Pusat distribusi pun dipindah dari Purwakarta ke Jakarta. BATA juga berkerja sama dengan perusahaan logistik dalam mengelola barang di warehouse yang kemudian disalurkan ke toko-toko Sepatu Bata.
Meski begitu, BATA optimistis bisnisnya tetap eksis di pasar Indonesia. Sepatu dengan merek Bata sendiri memang bukan berasal dari Indonesia. Bata merupakan perusahaan yang didirikan pengusaha bernama Tomas Anna dan Antonin Beta pada 1894 di Zlin, Cekoslowakia. Perusahaan ini kemudian melakukan ekspansi di Eropa, Afrika, Amerika Latin, Amerika Utara, hingga Asia, termasuk Indonesia.
PT Sepatu Bata yang semula hanya mengimpor, pada 1940 mulai produksi secara lokal di Kalibata, Jakarta Selatan. Seiring perkembangannya, perusahaan ini produksi berbagai macam alas kaki termasuk sepatu kulit dan sandal kanvas built up, sepatu olahraga kasual, sandal cetakan injeksi, dan sandal.
Kemudian pada 1982, perusahaan mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Indonesia. Saat itulah Bata mulai mengembangkan bisnis hingga membuka cabang produksi di Purwakarta pada 1994. Pada 2004, Bata tercatat memperoleh izin impor dan distribusi umum.
"Kalau dari business plan, kita akan tetap eksis di Indonesia," ujar Hatta.
BATA juga optimistis mampu membalikan keadaan rugi saat ini menjadi untung pada 2025. "Optimistis bisa seperti sebelum Covid-19, tapi butuh waktu," tutur Hatta.
Sejumlah strategi pun disiapkan BATA untuk membalikan keadaan. BATA misalnya menjalankan operasional bisnis secara efisien. Setelah menutup pabrik, BATA akan memaksimalkan fungsi toko yang ada dalam menyasar konsumen.
"Tidak ada working capital [pabrik], raw material, memperkuat sebagai perusahaan. Kalau kita sourcing dari luar, kita bisa meningkatkan gross profit yang kita cari," tutur Hatta.
BATA pun menurutnya terus meluncurkan produk sepatu yang sesuai dengan selera pasar. Kemudian, BATA memperkuat penjualan daring. Hal ini termasuk meningkatkan ragam kampanye pemasaran pada hari besar agama ataupun momentum back to school.