Bisnis.com, BANDUNG - Kemandirian industri pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dapat didukung dengan subtitusi impor katalis sebagai bahan pendukung olahan. Selama ini, Indonesia masih 100% ketergantungan impor katalis.
Untuk diketahui, katalis merupakan zat kimia yang dapat mempercepat proses pengolahan reaksi kimia sehingga produksi lebih cepat dan menghasilkan nilai ekonomis.
Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan impor katalis dapat digunakan untuk berbagai industri kimia dasar, termasuk oleokimia hingga bahan bakar.
Pada 2023, kata Sahat, nilai impor katalis mencapai US$190 juta atau setara dengan Rp2,85 triliun pada 2023.
"Kalau memang kita mau maju dan bisa mandiri, sebaiknya pajak impor untuk katalis itu ditingkatkan, dan dana itu bisa dipakai untuk penelitian," kata Sahat kepada wartawan di Bandung, Rabu (31/1/2024).
Adapun, impor katalis berasal dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan China. Sahat menyesalkan kondisi ini, menurut dia, Indonesia memiliki kemampuan untuk memulai subtitusi impor zat kimia tersebut.
Baca Juga
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menaikkan pajak impor katalis yang saat ini berada dikisaran 5-6% dari harga jual. Hasil pajak ini dapat digunakan untuk research and development (R&D) di laboratorium penelitian dalam negeri.
"[Pajak naik] bisa hemat devisa dan kemapanan industri, kalau mereka setop itu ekspor katalis, selesai kita," ujarnya.
Sahat juga menyebut potensi pengembangan katalis oleh PT Katalis Sinergi Indonesia yang dalam waktu dekat akan meresmikan pabrik katalis pertama di Indonesia. Olahan katalis merupakan hasil dari para peneliti dari Kelompok Keahlian Rekayasa Katalisis dan Sistem Pemroses Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lebih lanjut, dia mewanti-wanti praktik dumping yang dilakukan negara asal impor jika Indonesia mulai memproduksi katalis. Menurut dia, harga impor katalis bisa lebih murah 30-35% dari harga awal.
Kepala Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB, Melia Laniwati Gunawan menyampaikan peran katalis penting karena dibutuhkan 90% industri kimia.
"Di negara lain, mereka bikin katalis untuk keseluruhan industri kimia. Kalau mereka berhenti ekspor, maka industri kimia yang ada di Indonesia akan mati," ujarnya.
Salah satu penggunaan katalis yang telah berhasil diujicobakan pihaknya yaitu bensin sawit (Bensa) dan bioavtur. Adapun, bensa yang diproduksi memiliki RON sekitar 110-115 dan berhasil digunakan untuk bahan bakar motor, meskipun belum dikomersialkan.
Adapun, Kelompok penelitian ini memiliki kapasitas produksi 1.000 liter CPO per hari yang dapat menghasilkan 500 liter bensa per hari.
"Kami pernah coba 3 bulan 24 jam, kemarin dapat 200 liter. Bisa lebih, tapi ini penelitian jadi banyak di kotak-katik, bukan produksi," tuturnya.
Di sisi lain, Ketua Kelompok Keahlian Rekayasa Katalisis dan Sistem Pemroses ITB, IGBN Makertihartha mengatakan nilai ke-ekonomian bensin sawit masih tinggi yakni dikisaran Rp20.000 per liter.
"Tetapi, itu bisa kita rancang. Bensa dengan RON tinggi ini dicampur dengan naphta berkualitas rendah dengan RON 70 dari olahan rakyat, itu bisa naik RON 90 setara pertalite, jadi yang tadi harga nya Rp20.000 per liter, bisa jadi lebih murah," pungkasnya.