Bisnis.com, JAKARTA - Harga komoditas batu bara kontrak Januari 2024 telah mencatatkan penguatan selama empat hari berturut-turut. Harga crude palm oil (CPO) juga menguat didukung oleh kenaikan harga minyak saingannya, penundaan pengiriman Laut Merah, dan para pembeli yang menawar.
Berdasarkan data Bloomberg pada Senin (8/1/2024) Harga batu bara berjangka kontrak Januari 2024 di ICE Newcastle ditutup menguat 0,34% atau 0,45 poin ke posisi US$132 per metrik ton.
Kemudian, kontrak pengiriman Februari 2024 melemah sebesar -0,57% atau -0,75 poin ke level US$129,75 per metrik ton.
Mengutip Reuters, impor batu bara termal seaborne Asia mencapai 83,69 juta metrik ton pada Desember 2023, naik dari 78,87 juta pada November tahun lalu, dan merupakan rekor tertinggi yang dikumpulkan oleh analis komoditas Kpler sejak Januari 2017.
Namun, tingginya permintaan tidak terlalu mempengaruhi harga lantaran Indonesia dan Australia sebagai negara pengirim bahan bakar terbesar terutama untuk menghasilkan listrik, telah mengalami peningkatan ekspor yang besar.
Rekor tersebut dipimpin oleh China, dengan impor batu bara termal seaborne sebesar 32,08 juta ton pada Desember 2023, yang merupakan rekor tertinggi menurut data Kpler dan naik dari 29,57 juta ton pada November 2023.
Adapun, minat China terhadap impor batu bara termal melonjak pada 2023 karena pembangkit listrik tenaga baru bara meningkat di tengah ketika produksi pembangkit listrik tenaga air sedang menurun.
Tak hanya impor, produksi batu bara dalam negeri China juga meningkat dengan produksi pada November 2023 mencapai rekor tertinggi harian sebesar 13,8 juta ton, mematahkan rekor sebelumnya sebesar 13,5 juta ton dibandingkan Maret 2022.
Untuk Indonesia, ekspor batu bara termal mencapai 48,05 juta ton pada Desember 2023, terbesar sejak Maret 2022. China mengambil porsi terbesar dengan 20,99 juta ton.
Harga CPO
Harga (CPO) atau minyak kelapa sawit di bursa derivatif Malaysia pada Februari 2024 menguat 5 poin menjadi 3,680 ringgit per metrik ton. Kemudian, kontrak Maret 2024 menguat 12 poin menjadi 3,694 ringgit per metrik ton.
Mengutip Reuters, harga minyak sawit berjangka Malaysia telah menguat selama tiga hari berturut-turut pada Senin (8/1) ditopang oleh pembeli yang menawar dan penundaan pengiriman minyak saingannya, meskipun harga minyak mentah yang lebih lemah membatasi kenaikan.
"Munculnya pembeli yang menawar, ditambah dengan pemulihan yang cepat pada minyak nabati saingannya telah mengangkat harga ke arah yang positif," jelas seorang pedagang yang berbasis di Kuala Lumpur.
Kepala Riset dari Sunvin Group yang berbasis di India, Anilkumar Bagani, mengatakan bahwa penundaan pengiriman minyak kedelai dan minyak bunga matahari di tengah ketegangan Laut Merah juga dipandang mendukung harga minyak sawit saat ini.
Harga minyak sendiri telah menurun lebih dari 1% pada Senin (8/1) setelah penurunan harga yang tajam oleh eksportir utama Arab Saudi dan kenaikan produksi OPEC, mengimbangi meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Adapun, harga minyak mentah yang lebih lemah membuat kelapa sawit menjadi pilihan yang kurang menarik untuk bahan baku biodiesel.
Kontrak minyak kedelai teraktif Dalian, DBYcv1, melemah -0,30%. Kontrak minyak sawit DCPcv1 diperdagangkan datar. Harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT), BOcv1, sedikit berubah.
Analis teknikal Reuters, Wang Tao, mengatakan bahwa harga minyak sawit mungkin turun hingga 3.709 ringgit per ton, menyusul kegagalannya menembus resistensi di 3.793 ringgit.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang perdagangan kontrak minyak kelapa sawit, Ringgit malaysia, ditutup menguat 0.08% terhadap dolar AS. Ringgit yang lebih kuat membuat minyak kelapa sawit kurang menarik bagi pemegang mata uang asing.