Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan mekanisme terkait perdagangan bursa karbon yang rencananya diselenggarakan pada akhir September 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya tengah melakukan finalisasi terkait aturan turunan dari Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 atau POJK Bursa Karbon untuk mengatur lebih lanjut terkait mekanisme penyelenggaraan perdagangan karbon.
"Sebagaimana kita tahu, POJK No 14 Tahun 2023 telah terbit, dan untuk peraturan turunan pelaksanaannya, itu dibutuhkan Surat Edaran [SE] OJK dan sekarang dalam tahap finalisasi,” ujar Inarno dalam Konferensi Pers RDK Bulanan Selasa, (5/9/2023).
Terkait mekanismenya, Inarno mengatakan untuk saat ini yang dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon adalah pelaku usaha yang telah memiliki Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPEGRK) dan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) yang tercatat dalam SRN PPI oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sehingga, menurutnya investor ritel belum dapat berpartisipasi pada tahap awal perdagangan bursa karbon. Namun, tidak menutup kemungkinan investor ritel dapat berpartisipasi dalam berbagai produk turunan bursa karbon ke depannya.
"Tentunya sangat dimungkinkan ke depannya investor ritel bisa masuk, tapi mungkin tidak masuk dalam perdagangan karbon, melainkan dalam produk-produk turunannya," katanya.
Baca Juga
Diberitakan sebelumnya, telah terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, yang berpotensi ikut perdagangan karbon tahun ini. Jumlah itu setara dengan 86 persen dari total PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia.
Selain dari subsektor pembangkit listrik, perdagangan karbon di Indonesia juga akan diramaikan oleh sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon seperti sektor kehutanan, perkebunan, migas, industri umum, dan lain sebagainya.
"Untuk jangka pendek, kami berharap ini bisa diperdagangkan secara domestik antara pelaku usaha yang memiliki PTBAE-PU dan SPEGRK. Tentunya untuk jangka menengah hingga panjang, diharapkan agar pelaku usaha dari luar negeri dapat melakukan jual beli unit karbon yang ada di Indonesia," ujar Inarno.
Lebih lanjut Inarno mengatakan nantinya OJK akan melakukan seleksi untuk menentukan siapa yang menjadi penyelenggara bursa karbon. Pihaknya juga akan mengkaji kemungkinan untuk adanya multi-penyelenggara dalam perdagangan karbon di Indonesia.
"Multi-penyelenggara sangat memungkinkan, tapi tentunya, kami juga harus mengkaji skala ekonominya, apakah memang multi-penyelenggara itu saat ini tepat atau tidak, tentunya ada berbagai pertimbangan yang bisa kami putuskan," pungkasnya.
Sebagai informasi, berdasarkan POJK No.14/2023, penyelenggara bursa karbon wajib memiliki izin usaha dari OJK dan wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar serta dilarang berasal dari pinjaman.