Kini Berwirausaha, Dewi Astuti Usung Sustainable Batik dan Zero Waste

Jalan panjang telah dilalui Dewi Astuti (36) dalam membangun bisnis fesyen di bawah merek “Ghawean Dewe”.
Foto: Kini Berwirausaha, Dewi Astuti Usung Sustainable Batik dan Zero Waste
Foto: Kini Berwirausaha, Dewi Astuti Usung Sustainable Batik dan Zero Waste

Bisnis.com, JAKARTA - Jalan panjang telah dilalui Dewi Astuti (36) dalam membangun bisnis fesyen di bawah merek “Ghawean Dewe”. Ghawean Dewe artinya bikinan alias buatan Dewe. Dewe diambil dari nama panggilan yang disematkan orang-orang terdekat kepada Dewi.

Melalui Ghawean Dewe, Dewi menuangkan kreativitasnya menciptakan produk fesyen dan aneka aksesori berbahan batik, serta kecintaannya kepada anak-anak. Ghawean Dewe memasarkan baju dan aksesori untuk anak-anak hingga remaja.

Tak hanya berbisnis, Dewi juga memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan usahanya. Ia mengusung konsep sustainable batik alias batik berkelanjutan dan zero waste, untuk mengurangi limbah batik.

Dewi memastikan, limbah atau sisa kain batik hingga bagian terkecilnya “disulap” menjadi berbagai produk. Salah satunya yang paling diminati adalah boneka batik yang diolah dari kain perca. Boneka batik ini bahkan diminati oleh pembeli dari Jepang saat pameran Festival UMKM Merdeka yang diikutinya melalui program pemberdayaan UMKM PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), yaitu Sampoerna Enterpreneurship Training Center (SETC). Festival UMKM Merdeka diadakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pada 28 Juli-1 Agustus 2023 di Grand Indonesia, Jakarta.

Memanfaatkan limbah kain sisa hasil produksi

Dewi menjelaskan, pilihan menerapkan konsep zero waste atas kain-kain batik sisa produksi karena ingin berkontribusi mengurangi jumlah sampah/limbah batik.

“Kami mengusung konsep sustainable batik yang merupakan upaya dan inovasi untuk memproduksi produk dengan tidak membuang sisa-sisa hasil produksi. Sisa-sisa hasil produksi tersebut diolah menjadi berbagai produk seperti batik anak, aksesori, tas, dan produk batik lainnya yang ramah lingkungan dan tetap menjaga nilai budaya Indonesia,” papar Dwi.

Di tangan Dewi, kain-kain perca batik itu diolah kembali menjadi produk berdaya guna hingga bagian terkecilnya.

“Sampai potongan terkecil menjadi kalung anak. Walau dari limbah kain, tapi tetap aman dan nyaman karena produk Ghawean Dewe telah memiliki sertifikat SNI,” kata dia.

Produk yang dihasilkan Ghawean Dewe juga memperhatikan kualitas hingga bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Ia mencontohkan, pakaian bisa “dilungsurkan” kepada adik atau saudara, demikian pula boneka dan aksesori lainnya. Di sinilah prinsip berkelanjutan (sustainable) itu terjadi. 

Perjalanan bisnis Dewi

Bisnis yang dijalani Dewi saat ini merupakan buah dari ketekunan dan passion yang dirawatnya sejak dari bangku kuliah. Jalan dan cerita yang panjang. Dewi mengisahkan, ia belajar memasarkan dan menjual produk kreasi temannya saat kuliah karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Dewi dan temannya, yang saat itu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Padang, Sumatera Barat, tak bisa hanya mengandalkan uang kiriman orangtuanya.

Melihat produk-produk kreasi temannya, Dewi mengajaknya berkolaborasi dan berperan menjual produk tersebut.

“Teman saya itu bisa bikin produk seperti bros, apa pun yang dari kain. Tapi dia enggak bisa jualan. Jadi saya yang jual,” katanya mengenang perjuangan masa lalu.

Awalnya, ada rasa malu karena tak ada mahasiswa lain yang berdagang di kampusnya. Namun, Dewi mengalahkan rasa malu itu. Akhirnya, bisnis itu terus berkembang dan pesanan juga meningkat.

Selepas kuliah, Dewi bekerja sebagai pegawai swasta. Akan tetapi, hasrat berbisnisnya tak surut. Sembari bekerja, Dewi mengasah kemampuannya berbisnis dan menghasilkan produk buatan tangan berbahan kain.

Sekian tahun berjalan, setelah menikah, Dewi dan suaminya melakukan riset sebagai landasan demi mengembangkan usahanya. Berdasarkan hasil dari risetnya, Dewi memutuskan untuk berkecimpung di bisnis batik untuk anak-anak dan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja pada 2017. Dewi mulai serius membangun Ghawean Dewe dengan pasokan batik dari perajin di Pekalongan.

Pada 2017 hingga 2019, ia membuka toko di Thamrin City, Jakarta. Kini usaha Dewi semakin berkembang dengan membuka outlet di dua lokasi di Jakarta, Pacific Place Mall dan Alun-Alun Grand Indonesia. Produk yang dijual pun semakin beragam, dengan kisaran harga mulai Rp 50.000 hingga Rp 350.000. 

Menjadi pelatih untuk kewirausahaan

Setahun terakhir, Dewi bergabung dan mendapatkan pembinaan Sampoerna Enterpreneurship Training Center (SETC). SETC merupakan program pemberdayaan UMKM yang digagas PT HM Sampoerna Tbk. di bawah Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia” (SUI).

Dewi pun terpilih mengikuti Training of Trainer (ToT) bersama 45 UMKM dari seluruh Indonesia. Mereka dilatih untuk menjadi pelatih dan mentor bagi para pelaku UMKM.

“Saya pendamping UMKM, ada yang dari Semarang, Surabaya, dan Malang. Dari sini, saya semakin mengenal lebih dalam SETC, dan saya salut sekali dengan program Sampoerna ini. SETC ini serius untuk membantu, memacu semangat UMKM, dan bikin pengen maju, go international,” kata dia 

Setelah bergabung dengan SETC, Dewi semakin terpacu untuk mengembangkan diri dan usahanya, terutama kembali mengaktifkan pemasaran melalui media digital. Ia berharap, suatu saat produk Ghawean Dewe bisa merambah pasar internasional. Kesempatan menjual produk melalui Festival UMKM Merdeka pun dianggapnya sebagai peluang untuk mewujudkannya. Apalagi, ada pembeli dari luar Indonesia yang telah membeli produk-produknya.

Di Festival UMKM Merdeka, Dewi dan beberapa pelaku UMKM lainnya mendapatkan kesempatan untuk memasarkan produk di stan SETC. Pada 31 Juli 2023, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri menyambangi stan SETC dan berbincang dengan perwakilan dari Sampoerna mengenai program pemberdayaan dan pelatihan kewirausahaan.

Dewi berharap, melalui SETC dan berbagai kegiatannya, bisa semakin menggairahkan geliat UMKM di seluruh Indonesia.

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper