Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini mengusulkan menaikan pajak karbon menjadi Rp75 per kg untuk mengurangi emisi karbon, kendati saat ini ditetapkan masih Rp30 per kg. ICDX menilai langkah itu tetap tidak bisa menghilangkan pencemaran sepenuhnya.
Menanggapi isu ini, CEO Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX) Lamon Rutten menilai bahwa isu mengenai penetapan pajak karbon mendapatkan perhatian besar dari banyak pihak, terutama terkait keingintahuan akan penggunaan pajak karbon tersebut.
“Tujuan pemerintah memperkenalkan pajak karbon pada dasarnya untuk memastikan bahwa dampak negatif dari emisi gas rumah kaca dapat dilihat dari harga yang dibayar oleh masyarakat dan perusahaan yang belum bebas karbon, sehingga akan mengarahkan pengambilan keputusan yang lebih rasional dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai satu kesatuan,” jelas Lamon mengutip siaran pers, Rabu (13/10/2021).
Lebih lanjut Lamon menjelaskan, jika sebuah pabrik diwajibkan untuk membayar harga atas polusi yang dihasilkan sebesar biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan seperti pencemaran air, hal itu akan mendorong perubahan operasional perusahaan meskipun mungkin tidak menghilangkan pencemaran sepenuhnya.
Sama halnya dengan penetapan pajak karbon yang bertujuan mengubah perilaku usaha yang merugikan lingkungan sekitarnya dan mendistribusikan pendapatan secara lebih adil.
“Jika dirancang dengan benar, penetapan pajak karbon dapat membuat masyarakat lebih sejahtera,” jelasnya.
Baca Juga
Berkaca pada pengalaman di negara lain, ketika harga disesuaikan dengan nilai sebenarnya, perusahaan terdorong untuk merestrukturisasi operasi mereka, tetapi jika dilakukan terlalu cepat maka akan ada efek kejutan.
“Dalam konteks di Indonesia saat ini, diperlukan komunikasi dari pemerintah mengenai penerapan pajak karbon dalam jangka panjang dan bagaimana pemerintah akan meningkatkan pajak ke level jangka panjang tersebut,” imbuhnya.
Kedua, seperti yang sudah banyak dilakukan perusahaan internasional, perusahaan Indonesia dapat mulai menggunakan harga perkiraan karbon dalam keputusan investasi mereka sehingga tidak ada “stranded asset” atau aset yang terlantar, seperti mesin dan peralatan yang sama sekali tidak sesuai untuk ekonomi nol-karbon.
Ada dua instrumen kebijakan utama untuk memperkenalkan harga karbon, yakni pajak karbon, dan pasar cap-and-trade karbon. Cap-and-trade biasanya ditujukan untuk sektor besar yang terdiri dari sejumlah perusahaan besar.
Sedangkan untuk pelaku ekonomi lainnya, pajak karbon perlu digunakan agar barang dan jasa diberikan harga yang sesuai dengan dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan.
Pajak karbon, kata Lamon, pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan bagi negara. Negara yang mulai mengimplementasikan pajak karbon dapat mengurangi pajak lainnya, atau mengembalikan sebagian pendapatan kepada publik yang tepat sasaran. Misalnya, untuk mensubsidi angkutan umum, atau untuk membantu perusahaan mengubah peralatan dan mesin mereka menjadi peralatan dan mesin baru yang menggunakan teknologi rendah karbon.
Pajak karbon juga akan mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang menangani perubahan iklim secara serius, dan pada akhirnya dapat melindungi pelaku usaha dari pajak impor dari negara maju, dan akan memungkinkan pembeli negara maju untuk melakukan offset dari pemasok Indonesia dengan harga yang jauh di atas sekarang.
“Dengan harga offset yang tinggi, akan ada aliran dana masuk untuk daerah-daerah terpencil di Indonesia, menciptakan banyak pekerjaan, memberikan manfaat untuk masyarakat pedesaan dan membantu mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar kota dan pedesaan,” tambahnya.