Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara emerging market berbondong-bondong menjual surat utang beredenominasi mata uang asing atau global bond jelang pertemuan bank sentral AS, The Fed. Mereka memanfaatkan peluang untuk menghimpun dana dengan biaya murah seiring dengan potensi tapering off yang akan dilakukan The Fed.
Berdasarkan laporan dari Bloomberg pada Senin (20/9/2021), sepanjang pekan lalu, emisi obligasi berdenominasi dolar AS dan euro dari pemerintah dan korporasi mencapai US$36 miliar atau sekitar Rp504 triliun (estimasi kurs Rp14.000 per dolar AS). Sementara, selama 10 pekan sebelumnya total penjualan obligasi mencapai US$90 miliar atau sekitar Rp1.260 triliun.
Beberapa negara yang melakukan penjualan obligasi selama sepekan terakhir adalah Turki, Chile, Serbia, Hungaria, dan Indonesia. Perusahaan asal Timur Tengah, Arab Petroleum Investments Corp akan melakukan investor call pada hari ini, sedangkan Nigeria juga bersiap menerbitkan obligasi berdenominasi dolar AS.
Lonjakan penerbitan obligasi dari emerging market terjadi seiring dengan potensi terjadinya tapering oleh The Fed. Co-Head of Emerging-Markets Active Fixed income di Vanguard Asset Management Nick Eisinger mengatakan, tren ini akan tetap berlanjut hingga kuartal IV/2021 mendatang.
“Banyak negara yang belum menyelesaikan target pendanaannya, dan beberapa akan melakukan pre-finance pada tahun depan, terutama sebelum tapering The Fed,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Eisinger menuturkan, pemerintah dan korporasi di negara berkembang memiliki utang jatuh tempo senilai US$102 miliar (sekitar Rp1.428 triliun) pada tahun ini dan US$389 miliar (sekitar Rp5.446 triliun) di tahun 2022.
Baca Juga
Hal ini akan membuat investor memiliki likuiditas yang melimpah dan berminat menaruh dananya di emerging market selama imbal hasil (yield) yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan obligasi AS (US Treasury).
“Kami akan membeli utang-utang baru tersebut dan berada di posisi yang tepat untuk melakukannya,” lanjutnya.
Di sisi lain, musim panas merupakan periode yang cenderung sepi dan lamban untuk penjualan obligasi di negara-negara kawasan belahan bumi utara. Tahun ini, motivasi negara-negara tersebut semakin rendah seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.
Tercatat, penjualan obligasi negara-negara ini hanya sebesar US$127 miliar (sekitar Rp1.778 triliun) pada kuartal III/2021, turun dari posisi US$161 miliar (sekitar Rp2.254 triliun) pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, dengan keputusan tapering The Fed yang sudah di depan mata, negara-negara berlomba menghimpun dana dari pasar obligasi sebelum tingkat imbal hasil naik.
Stefan Weiler, Head of Debt Capital Markets for Central and Eastern Europe, the Middle East and Africa di JPMorgan Chase & Co mengatakan, emisi obligasi akan melonjak pada akhir kuartal ini di seluruh wilayah seiring dengan kondisi pasar yang kondusif dan likuiditas yang melimpah.
“Tren penerbitan obligasi juga akan berlanjut pada bulan Oktober,” katanya.