Bisnis.com, JAKARTA – Pemberian keringanan Pajak Penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk investor domestik dinilai dapat mengakibatkan reksa dana obligasi kehilangan daya tariknya atau competitive advantage dalam jangka pendek.
Direktur Utama PT Trimegah Asset Management Antony Dirga memaparkan bagaimana dampak jangka pendek dari insentif PPh tersebut, dan juga menekankan pentingnya edukasi yang baik bagi para investor baru.
“Menurut kami, hilangnya tax break ini sebenarnya sehat untuk industri reksa dana dalam jangka panjang. Namun dalam jangka pendek hilangnya tax break ini akan menyebabkan reksa dana obligasi kehilangan competitive advantage-nya,” ungkap Antony saat dihubungi Bisnis, Selasa (7//9/2021).
Menurutnya relaksasi PPh bunga obligasi dari 15 persen menjadi 10 persen tersebut dapat mengakibatkan redemption yang besar dari reksa dana obligasi dan menyebabkan turunnya dana kelolaan (asset under management/AUM) reksa dana di Tanah Air.
Jika diurutkan, ungkap Antony, salah satu dampak terbesar relaksasi PPh tersebut ke pasar obligasi adalah perpindahan tangan pemilik obligasi dari perbankan dan reksa dana ke investor ritel ataupun institusi lainnya.
Besar kemungkinan dalam jangka pendek net additional demand yang real sebenarnya terbatas. Di mana investor mengalihkan uang yang sebelumnya diperuntukkan untuk konsumsi atau kebutuhan lainnya menjadi investasi obligasi akibat adanya relaksasi ini.
Baca Juga
Net additional demand yang real ungkanya, lebih didorong oleh pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk.
“Karena net additional demand yang terbatas dan relaksasi ini hanya memicu perpindahan kepemilikan, dampak terhadap pasar obligasi menurut kami adalah netral,” lanjut Antony.
Kendati demikian, untuk jangka panjang menurutnya tentu saja perluasan partisipasi kepemilikan obligasi akan berdampak positif untuk negara. Semakin besar kepemilikan SBN oleh investor ritel dan institusi dalam negeri tentunya mengurangi ketergantungan pada investor asing.
Namun Antony mengingatkan bahwa meluasnya partisipasi investor ritel tersebut juga harus disertai pengawalan atau edukasi yang baik terhadap investor-investor baru.
“Investor-investor baru ini harus mengerti resiko dalam berinvestasi pada obligasi, salah satunya tolak ukur durasi atau sensitivitas harga obligasi terhadap pergerakan suku bunga,” ujar Antony.
Dia mengungkapkan bahwa investor ritel tentu memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai investasi obligasi dibandingkan dengan investor perbankan ataupun reksa dana yang sebelumnya biasa berinvestasi pada obligasi.
Kurangnya edukasi untuk para investor ritel sebelumnya, ungkap Antony, pernah mengakibatkan krisis di pasar obligasi di tahun 2005. Oleh karena itu, agar kejadian tersebut tidak berulang dia menegaskan pentingnya edukasi terhadap investor-investor baru.