Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nilai Kepemilikan Asing di SBN Membaik, Tapi...

Masih tercatatnya net sell dari investor asing di pasar SBN lebih disebabkan gejolak faktor eksternal meningkatnya imbal hasil (yield) dari obligasi AS.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA - Total nilai kepemilikan asing dalam surat berharga negara atau SBN hingga kuartal I/2021, terpantau membaik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu walaupun belum pulih sepenuhnya.

Berdasarkan Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, total nilai kepemilikan asing dalam SBN rupiah yang dapat diperdagangkan hingga kuartal I/2021 mencapai Rp951,406 triliun.

Jumlah itu menciut dari Rp973,908 triliun pada 31 Desember 2020 atau membukukan net sell Rp22,5 triliun.

Namun, nilai net sell di SBN membaik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu ketika total kepemilikan asing mencatatkan net sell hingga Rp135 triliun.

Sayangnya, nilai kepemilikan asing di SBN masih sangat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pasar saham. Hingga kuartal I/2021, investor asing di pasar modal telah mencatatkan transaksi net buy hingga Rp12,3 triliun.

Analis Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan bahwa masih tercatatnya net sell dari investor asing di pasar SBN lebih disebabkan gejolak faktor eksternal meningkatnya imbal hasil (yield) dari obligasi AS.

Peningkatan itu didukung optimisme pasar terhadap kondisi ekonomi AS yang akan pulih lebih cepat daripada ekspektasi sehingga investor asing kembali masuk ke pasar AS dan keluar dari pasar emerging market, termasuk Indonesia.

“Ada prospek perkembangan pesat dari ekonomi AS, dan itu membuat pasar AS sangat menarik bagi investor global. Namun, investor global tidak cuma keluar di pasar obligasi Indonesia, ini hampir terjadi di semua pasar obligasi semua negara,” ujar Ramdhan kepada Bisnis, Kamis (1/4/2021).

Padahal, menurut Ramdhan, sebelumnya investor asing menunjukkan minat yang lebih baik di pasar SBN dibandingkan dengan pasar modal dalam negeri. Imbal hasil obligasi Indonesia masih berada di posisi tinggi dibandingkan dengan yield obligasi pasar asing lainnya.

Oleh karena itu, dia menilai pasar obligasi Indonesia masih prospektif mengingat hengkangnya investor asing bukan disebabkan faktor fundamental Indonesia.

Ramdhan juga menilai peningkatan yield obligasi AS itu hanya akan berlangsung dalam jangka pendek hingga menengah karena yield AS masih menunjukkan potensi pertumbuhan.

“Namun, ketika yield obligasi AS sudah sentuh level tinggi mentok dan tak ada lagi ruang kenaikan, yield akan turun dan investor pasti akan kembali lagi ke pasar emerging market. Tinggal PRnya adalah bagaimana kita menjaga makro fundamental Indonesianya saja,” papar Ramdhan.

Secara terpisah, Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana juga mengatakan bahwa pasar obligasi Indonesia prospektif seiring dengan tingkat inflasi dan yield SBN yang masih terjaga yang mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia tidak memburuk.

“Investor asing tampaknya masih relatif menunggu waktu dan mencari momentum yang baik untuk masuk kembali ke pasar SBN, makanya hingga kuartal I/2021 hanya net sell saja, bukan outflow seperti yang terjadi pada kuartal I/2020. Semoga investor asing akan segera switching portofolio ke pasar SBN atau menambah kepemilikannya,” ujar Fikri kepada Bisnis, Minggu (4/4/2021).

Dia juga menjelaskan bahwa prospek obligasi Indonesia juga akan bergantung dengan pergerakan rupiah. Jika rupiah berhasil tidak terdepresiasi cukup dalam akan semakin menumbuhkan optimisme investor asing untuk segera beralih ke pasar obligasi Indonesia dibandingkan dengan pasar obligasi negara luar lainnya.

Adapun, sepanjang kuartal I/2021 rupiah bergerak cukup volatil dan tercatat terkoreksi hingga 3,27 persen. Sentimen inilah yang juga menjadi faktor asing masih tercatat net sell di pasar SBN sepanjang tiga bulan pertama 2021.

Untuk saat ini, Fikri mengatakan bahwa fokus investor masih akan tertuju pada proyeksi pertumbuhan ekonomi AS.

Hal itu karena terdapat ketakutan kenaikan inflasi AS sehingga muncul tapering off, menormalisasi kebijakan pemerintah AS yang sebelumnya dalam mode pelonggaran.

"Yang ditakutkan investor itu ketika inflasi AS berhasil naik 2 persen, yield obligasi AS harus naik 3 persen dari posisi sekarang sekitar 1,2 persen sebagai bentuk kompensasi kenaikan inflasi itu," papar Fikri.

Di sisi lain, investor juga menanti dampak dari penggelontoran stimulus oleh pemerintah AS yang mencapai US$2 triliun untuk sektor infrastruktur.

Sebelumnya, VP Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan bahwa pasar obligasi negara berkembang, termasuk Indonesia, saat ini dinilai jauh lebih berisiko dibandingkan dengan pasar obligasi AS sehingga kehilangan daya tarik di mata asing.

“Inilah mengapa akhirnya capital outflow masih terus terjadi. Kuncinya di growth differentiation. Ekonomi yang menawarkan growth cukup optimal maka investor akan lari ke sana,” jelasnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Dia mengatakan, salah satu yang dapat dilakukan untuk kembali menarik investor asing masuk dan menahan CDS Indonesia agar tak kembali melambung adalah dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui stimulus fiskal.

“Kalau kita mengandalkan suku bunga, sudah sangat terbatas ruangnya. Paling krusial adalah kebijakan fiskal, produtifitasnya harus ditingkatkan agar bisa men-drive ekonomi,” kata Josua.

Menurutnya, jika negara berkembang dapat menekan perbedaan angka pertumbuhan ekonomi dengan AS, mestinya daya tarik investor terhadap pasar negara berkembang dapat pulih kembali.

“Sehingga investor asing juga tidak akan semena-mena menilai emerging market ini lebih berisiko, kalau terus begini takutnya investor yang masih ada di SBN juga ikut keluar,” imbuhnya.

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper