Bisnis.com, JAKARTA – Harga nikel dan tembaga mengalami rebound setelah terkoreksi selama beberapa waktu seiring dengan peningkatan permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (2/2/2021), harga nikel pada London Metal Exchange (LME) terpantau sempat naik hingga US$17.860 per ton atau menguat 1 persen. Catatan ini terjadi setelah harga komoditas bahan baku pembuatan baja dan perangkat elektronik tersebut anjlok 3,2 persen pada pekan lalu.
Sepanjang tahun lalu, harga nikel mencatatkan kenaikan 18 persen. Tren positif tersebut terjadi di tengah melemahnya permintaan dari industri pembuatan baja yang berimbas pada kenaikan jumlah inventaris nikel pada pasar fisik.
Laporan dari Analis Bank of America Merrill Lynch, Michael Widmer menyebutkan, saat ini harga nikel terbilang tinggi dibandingkan kondisi fundamental pasar. Meski demikian, konsumsi nikel dinilai mulai menunjukkan sinyal pemulihan.
Widmer memaparkan, total surplus inventaris nikel di pasar global mulai menunjukkan penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Penurunan tersebut terus terjadi hingga pada kondisi dimana pasar nikel mengalami keseimbangan mulai bulan Oktober 2020 hingga kini.
“Penurunan jumlah nikel di pasar fisik utamanya didorong oleh pemulihan produksi baja dunia,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Baca Juga
Di sisi lain, rebound harga juga dialami oleh komoditas tembaga seiring dengan prospek penurunan pasokan dari Chile sebagai produsen tembaga nomor 1 di dunia.
Data dari LME mencatat, harga tembaga terpantau menguat 0,4 persen ke level US$7.829,50 per ton. Pada Senin kemarin, harga tembaga ditutup pada US$7.798,50 per ton, atau harga terendah sejak 31 Desember 2020.
Perusahaan penghasil tembaga terbesar dunia, Codelco, telah mengaktifkan rencana produksi khusus untuk menghadapi musim hujan yang terjadi di Chile. Codelco juga telah melakukan sejumlah penyesuaian yang dinilai tidak akan berdampak signifikan.
Perusahaan milik pemerintah negara Chile tersebut dalam keterangan resminya juga menyebutkan, pihaknya tetap melanjutkan produksi tembaga ditengah hujan besar yang terjadi di Chile dalam beberapa hari terakhir.
Sementara itu, Peru telah memulai karantina wilayah selama 15 hari ke depan pada beberapa wilayahnya. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap total output tembaga dari negara tersebut.
Analis China Industrial Futures Co., Fan Bingting menyebutkan, ekspektasi pasar terhadap penurunan jumlah pasokan tembaga konsentrat kini semakin menguat. Hal tersebut terlihat dari kenaikan premi pada tembaga berjangka di LME pada pekan lalu.
Selain itu, jumlah persediaan tembaga pada bursa LME mendekati catatan terendah sejak 2005 lalu. Hal tersebut menandakan para produsen kesulitan memenuhi permintaan pasar.