Bisnis.com, JAKARTA--Dalam kesempatan berkunjung ke Hong Kong dan Macau, 7-9 Juli lalu, Bisnis berkesempatan ngobrol santai dengan Boy, CEO PT Adaro Energy Tbk., seputar rencana bisnisnya, bagaimana menghadapi realitas politik hari ini, mimpinya tentang Indonesia, dan tantangan utama yang dihadapi bangsa ini hari-hari ini.
Ngobrol dengan Garibaldi ‘Boy’ Thohir memang asyik. Boy blak-blakan soal banyak hal. Banyak pula gagasan dan pengalaman bisnis yang menginspirasi. Berikut ini cuplikannya:
Apakah masih ada mimpi Adaro yang belum kesampaian?
Ya banyak, tapi nantilah...
Bolehkah kasih clue-nya?
Ginilah, di era disruption, orang masuk ke teknologi ini itu, waduh saya nanti bonyok kalau kagak ngerti. Tapi begitu saya lihat lihat, oh ada peluang di coking coal ini.
Jadi gini dulu deh. Kami di Adaro ini kan produksi batu bara kira-kira 56 juta ton, revenue kira-kira 3 miliar [dolar AS]. Masak dari 56 juta ton itu enggak bisa produksi coking coal 20 juta ton saja.
Harga coking coal itu 200 dolar AS. Bandingkan dengan harga batu bara yang biasa [thermal coal], 70 dolar AS. Gampang saja, kalau produksi saya 20 juta ton, revenue jadi 4 miliar dolar AS dari coking coal.
Secara teknologi bagaimana?
Ya teknologinya sama. Batu baranya item-item juga. Jadi dari teknologi dan semuanya, saya yakin bisa.
Lalu bagaimana Adaro berkontribusi terhadap negara?
Saya sedang mikirin. Simpel. Tidak ada negara maju di dunia, yang tadinya negara itu adalah agraris, tidak menjelma menjadi negara industri lebih dahulu.
Kalau negara kita menjelma menjadi negara industri satu saat nanti, kalau tidak punya pabrik baja yang mumpuni, ya jangan mimpi jadi negara maju.
Di situlah nanti saya [Adaro] akan contribute. Tidak mungkin ada baja kalau tidak ada coking coal. Jadi ke situ. Itu seperti kontribusi, kenapa saya bangun power plant [Adaro tengah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan kapasitas 2 x 1.000 MW di Batang, Jawa Tengah, ditargetkan beroperasi pada tahun 2021].
Kalau enggak, enak-enak saja saya jual-jual batu bara.
Jadi ada dua hal dalam mimpi saya 10 tahun dari sekarang. Yakni pertama bagaimana mendiversifikasikan dari Adaro yang sekarang 70%-80% masih tergantung thermal coal, nanti shifting ke coking coal.
Lalu nanti bagaimana Adaro bergeser dari kontribusi ke penyediaan listrik ke kontribusi penyediaan besi baja untuk pembangunan nasional. Kan sama juga kontribusinya.
Bangun industri baja sendiri atau bagaimana?
Oh, tidak menutup kemungkinan. Tapi step-nya pertama coking coal dulu.
Serius ingin bikin steel manufacturing? Apakah enggak perlu punya tambang bijih besi (iron ore) dulu?
Prinsipnya sama. Teorinya simpel. Tak perlu beli tambang iron-ore segala macam. Jadi gini, suatu saat nanti masuklah para pemain industri baja. Sekarang kan sudah ada CapCo, ada yang lain juga masuk industri steel ke Indonesia.
Itu kan nanti ujung-ujungnya kalau suplainya coking coal hanya dari Boy Thohir, kita bisa bilang enggak mau kalau nggak ikutan di tempat kamu. Saya terapkan saja seperti saya bikin power plant di Batang. Boy ikut, tidak boleh hanya 20%, tetapi bisa 30%. Kenapa (minimal) 30%, supaya equity-nya lumayan.
Jadi butuh berapa lama bisa masuk ke steel ini?
10 tahun. Kalau coking coal-nya sudah 20 juta ton, orang perlu kita [untuk masalah pasokan].
Sekarang sudah berapa coking coal-nya?
Sekarang yang di Kalteng sudah 1 juta ton, yang di Australia kita beli 6 juta ton, jadi sudah 7 juta ton. Yang di Kalteng masak enggak bisa 10 juta ton? Yang Australia juga 10 juta ton.
Jadi sudah on-progress ya?
On progress, sudah. Karena saya sudah mikirin dari 5—7 tahun yang lalu.
Di luar semua bisnis itu, sebenarnya apa lagi mimpi Pak Boy tentang Indonesia?
Saya melihat... jatuh bangunnya sebuah keluarga, atau perusahaan, atau negara, karena pemimpinnya gagal.
Jadi yang Pak Tedy (Tedy Permadi Rahmat, pendiri Triputra Grup dan mantan Presdir Astra, tokoh bisnis yang disegani dan dihormati oleh Boy Thohir) bilang, saya sependapat. Mimpi saya ke depan itu, kita mau tak mau harus mempertahankan pemimpin-pemimpin yang punya karakter, seperti yang ada sekarang.
Indonesia bisa betul-betul maju?
Indonesia bisa maju kalau dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang betul-betul punya karakter bagus. Dalam arti, pemimpin yang punya karakter bagus itu, dalam arti yang bisa itu tadi [mengelola bangsa] karena kita sudah terlahir plural, ada suku ini, suku itu.
Jadi dengan cara Pak Jokowi sekarang, kita punya potensi ke sana enggak?
Saya termasuk orang yang sependapat dengan Pak Jokowi, yang pasti beliau memikirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang karakternya seperti beliau.
Seperti saya juga memikirkan pemimpin masa depan di perusahaan saya. Gampang saja, saya kalau tidak memikirkan masa depan, begitu tsunami datang, habis Adaro. Pasti Pak Jokowi juga memikirkan itu.
Jadi, Pak Jokowi doing the right things for the future?
Pasti. Menurut saya, he is doing the right things. Saya termasuk yang konservatif ya. Tapi memang begini. Contoh, kita tahu pak Teddy Rahmat kan orang hebat, seorang CEO hebat. Pak Teddy bilang saat saya tanya, siapa Om CEO yang dikagumi di Indonesia?
Tahu nggak jawaban Pak Teddy apa? Boy, dia bilang, saya itu kagum banget sama Nadiem (Nadiem Makarim, pendiri GoJek). Kenapa Om? Pak Teddy bilang, saya tuh puluhan tahun bangun Astra dengan ratusan perusahaan, sampai saat ini baru bisa ciptakan 300.000 tenaga kerja. Nadiem baru saja, sudah ciptakan 3 juta tenaga kerja.
Saya bilang, itu kan teknologi Om? Iya, mau ngomong apapun saya kagum sama Nadiem. Kalau nunggu orang seperti saya, kapan tuh bisa ciptakan 3 juta tenaga kerja [dalam waktu singkat], begitu kata Pak Teddy.
Itukah kaitannya dengan orang muda di Kabinet?
Jadi, orang seperti beliau [Pak Jokowi], dari profesional, dari swasta, punya jiwa entrepreneur untuk membawa negara lebih maju. Kalau punya pemikiran seperti itu, gimana? [Boy memperkirakan komposisi Kabinet separuhnya akan diisi menteri dengan usia di bawah 50 tahun]
Tapi tak lepas harus punya karakter yang kuat. Saya percaya seperti ajaran orang tua saya, character is number one.
Karakter seperti apa? Kalau ayah saya bilang, orang yang selalu menjaga reputasi dan nama baiknya. Orang yang memang ulet dan pekerja keras. Orang yang memang mau memberi kontribusi terbaik kepada negaranya.
Saya tambahin lagi, saya ngomong dengan anak-anak saya, kalau kalian enggak pinter, bisa cari orang pinter. Tapi kalau kalian enggak ulet dan enggak mau kerja keras, enggak bisa digantiin.
Karakter itu enggak bisa digantiin oleh yang lain. Terus lagi yang humble, yang enggak sombong. Itu enggak bisa digantiin.
Nah, kalau sekarang ditanya masalah bangsa yang paling concern apa? Satu aja?
Boleh dibilang salah satu masalah yang paling concern, meski klasik, saya enggak mau menyebutnya radikalisme lah. Yang saya khawatir adalah perpecahan bangsa ini.
Saya selalu bilang ke teman-teman, ini it needs two to tango. Dengan pengertian saya simpel, ayah saya mengajarkan, kalau Mas Arif melihat saya sama Erick [Erick Thohir, pemilik Mahaka Grup dan Ketua TKN Jokowi – Ma’ruf Amin], Erick hormat saya, saya hormat kakak saya, itu dari kecil diajarin terus.
Rumusnya gini, yang adik harus hormat sama kakaknya. Yang kakak harus sayang sama adiknya. Apapun. Mau sesukses apapun, kata ayah saya, adik harus hormat sama kakaknya. Itu terus sampai sekarang.
Makanya, Erick selalu bilang ke saya, ketika dia mau begini begitu. Kalau saya bilangin, dia diam dulu. Di satu sisi, Erick mau apapun, dia invest di bola, ya saya dukung karena adik kita.
Nah, saya ceritakan panjang begitu, karena konteks bernegara di Indonesia itu, yang minoritas harus menghormati yang mayoritas. Dan yang mayoritas harus melindungi dan menyayangi yang minoritas. Nah, kesalahan di Indonesia ini, yang terjadi sekarang, adalah kesalahan dari kedua belah pihak.
Jadi seperti itu konteks it needs two to tango tadi?
Dan untuk menjadi benar dan baik ke depan, juga it needs two to tango. Yang mayoritas jangan mentang-mentang mayoritas lalu gini gitu, tapi harus menyayangi.
Di sisi lain, yang minoritas, saya selalu bilang ke teman-teman saya yang nonmuslim misalnya, kalian juga harus memahami, menyadari dan menghormati. Jangan mentang-mentang [mayoritas], hormatilah. Kadang begitu, sorry to say, yang mayoritas ada yang ekstrem, tapi itu kan sebagian kecil saja. Begitu pula yang minoritas kadang ada juga yang tidak menghormati bahkan kadang memaksakan [keinginan], tapi itu sebagian kecil juga.
Itu yang jadi begini ini [sambil menunjukkan dua tangan mengepal]. Saya mengalami hal-hal seperti itu juga, disuruh pindah agama dan lain-lain.
Apa yang mesti dilakukan dan Pak Boy sudah lakukan?
It needs two to tango tadi. Saya bilang kepada teman- teman, saya ngomong sama Pak Edwin (Edwin Suryadjaya, putra William Suryadjaya, pendiri Astra), saya ngomong sama Pak Teddy, saya ngomong sama Ario (Ario Rachmat, putra Teddy Rachmat), saya ngomong sama Arif (Arif Rachmat, putra Teddy Rachmat), saya ngomong sama Michael.
Saya bilang, jangan dicurigai dulu. Saya bilang, jangan orang muslim yang mau lebih religius, lalu buru-buru dicap radikal. Apa salahnya orang [bercelana] cingkrang, kan lebih praktis, dia mau wudu. Jangan juga sama jilbab dicurigai. Nothing’s wrong with them. Apakah orang mau lebih religius salah? Saya balikin begitu, karena saya bergaul dengan semua.
Ada juga temen nonmuslim pakai anting salib, apakah salah? Biarin saja.
Lalu caranya [mengurangi potensi konflik] gimana?
Caranya tadi, rumusan yang dipakai orang tua saya, saya dan Erick dan mungkin kita semua bisa menjadi jembatan, bagaimana menjembatani ke atas dan ke bawah.
Makanya tadi saya masuk ke kontribusi umat. Yang saya lakukan dengan teman-teman partner saya yang nonmuslim, saya juga ingetin, jangan begitu juga karena itu ngaco dan men-trigger [memicu konflik]. Kenapa begitu, harus bijaklah. From day one saya ngomong.
Pertama, mereka merasa gimana gitu, tapi akhirnya bilang, “bener kamu Boy…”
Kita balik deh nggak usah jauh-jauh. Ini misalnya Om Tedy, Om Edwin jadi pengusaha terkaya nomor tiga di China sana, pasti dihajar juga.
Lha kenapa? Mereka tidak lahir di sana, minoritas. Dibalik saja, enggak usah jauh-jauh, kalau ada orang India misalnya, sukses di China, pasti dimaki-maki. Jadi poin saya, kita harus bijak.
Ini teori ayah saya, dan itu saya yakin benar. Kalau negara Indonesia ini mau aman mau tenang semua, ya udah paksain, kayak orang Thailand. Paksain apa? Suruh cross marriage, perkawinan silang. Kenapa? Thailand sudah enggak ada lagi semua [nama khas orang Thailand]. Enggak ada isu lagi dia.
Itu bisa mengurangi sensitivitas?
Iya, sangat. Ada lagi contoh yang lebih ekstrem. Saya belum pernah dengar ada kerusuhan rasial di Sumatra Barat. Hampir relatively oke. Tahu kenapa? Saya kan di Padang lama. Semua orang Chinese di Padang, ngomongnya “ambo-ambo-ambo” juga. Jadi poin saya, itu harus cross culture.
Jujur saja, saya paling kesel banget, walaupun saya enggak racial, kalau ada orang keturunan [China] yang ngomong “cang cing cong cang cing cong”, itu ngomong apa sih? Saya enggak bisa gitu lho.
Poin saya, hormati dong. Mau belajar ngomong silakan, tapi jangan di depan umumlah. Misalnya kita di Amerika nih, kalau anak-anak Indonesia kumpul lalu masuk lift kan ngomong bahasa Indonesia. Si Amerika bilang what, what. Negur nih. Poin saya, yang sensitif saja. Orang Padang bilang, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. [empan papan, kata orang Jawa].
Jadi kalau dibilang it needs two to tango, kita yang sudah biasa berbaur dan moderat ini harus jadi jembatannya.
Jadi isu kita bukan soal ketimpangan atau kemiskinan?
Saya kasih komparasi lagi karena saya pelaku. Saya sekolah di Amerika, di Los Angeles. Saya berteman, bersahabat, dan bergaul dengan teman-teman saya yang mungkin 90% keturunan Tiongkok. Sudahlah, kalau masuk usaha, Loe pasti kalah deh. Ada stereotyping.
Hari ini temen-temen saya tanya. Kok itu temen-temen yang lebih pinter dan lebih hebat, begitu balik kalah semua? Maaf ini bukan bermaksud apa-apa. Temen-temen Erick itu kalah juga sama Erick.
Ada temen yang tanya, kok bisa Pak Boy? Simpel saya bilang, temen-temen saya itu kan dari orang punya juga, dia jam 6 [sore] sudah di rumah, saya jam 12 [jelang dini hari] baru sampai rumah. Gimana enggak menang sama dia. Saya bergaul lebih gampang. Saya bisa ikut sholat, bisa ikut yang lain-lain, ya kan? Dibilang kita bisa dipercaya, jujur, semua sama. Jadi intinya, enggak ada stereotyping itu.
Isu kesenjangan itu dari awalnya sama. Sebagian besar kita dari keluarga Melayu ini, saat makan bersama keluarga, selalu membicarakan, temen kamu itu hebat, jadi bupati. Jadi dalam benak dia, mau jadi bupati karena ini hebat. Itu dari kecil. Gimana gedenya enggak pengen jadi bupati.
Kalau di lingkungan saya, ayah bicaranya [saat bersama keluarga], wah si itu hebat nih bisnisnya. Tapi saya belum tentu kalah Dad, saya bilang. Buktiin kalau gitu, wong sekolah saja kamu tidak lebih hebat, katanya. OK, saya sekolah kalah, tapi itu kan baru di awal. Nanti kita uji.
Sesudahnya begitu kita balik Indonesia, mereka kita susul. Dia jaga nama baik, jujur, kita sama. Dia lihai kita juga lihai. Sama. Kita belajar dari keunggulan dia. Saya belajar dari keunggulan mereka.
Jadi kalau bisa mindset-nya diubah jangan lagi hanya mau jadi pegawai, jangan lagi hanya mau jadi birokrat, kenapa enggak menjadi entrepreneur? Kenapa enggak jadi pengusaha? Kalau enggak mampu, ya cobain.
Jadi kalau sekarang ditanya kenapa jomplang, ya pasti jomplang karena yang mayoritas kagak pernah mau bisnis, yang minoritas larinya ke situ dan fokus.
Jadi, balik lagi, saya bilang ke mereka. Kamu harus bijak, ekonomi kamu sudah ambil, kasih waktu lah supaya nanti perimbangannya dapat. Kalau sudah dapat, baru kamu masuk ke politik.
Jangan kamu masuk ke politik sekarang. Yang sebelah sini habis dong, ekonomi kamu ambil, politik kamu ambil.
Bener nggak? Poin saya, pelan-pelan. Jangan dipaksain. (*)
Pewawancara: Arif Budisusilo