Bisnis.com, JAKARTA— Emiten tambang logam PT Kapuas Prima Coal Tbk. (ZINC) berencana meningkatkan penjualan seng dan timbal menjadi 7.000—7.500 ton per bulan atau naik 40% mulai Oktober 2018 seiring dengan rampungnya pabrik flotasi kedua.
Direktur Keuangan Kapuas Prima Coal Hendra Susanto menyampaikan, sejak Desember 2017, volume produksi dan penjualan mineral perseroan stabil di kisaran 5.000—5.500 per ton. Komposisinya sekitar 35% atau 1.200—1.500 ton adalah timbal, sedangkan selebihnya ialah seng.
“Kapasitas produksi harian sekitar 1.500 ton per hari melalui 1 pabrik flotasi,” tuturnya kepada Bisnis.com, di Kantor Kapuas Prima Coal, Jumat (5/8/2018).
Mulai September 2018, perusahaan berencana mengoperasikan 1 pabrik flotasi baru. Dengan demikian, volume produksi harian dapat meningkat menjadi 2.500 ton, dan produksi bulanan menuju 7.000—7.500 ton.
Hendra menyampaikan, kenaikan produksi sekitar 40%-50% itu mulai terealisasi dalam penjualan Oktober 2018. Oleh karena itu, diharapkan pertumbuhan pendapatan mengikuti peningkatan volume pemasaran.
Sebelumnya manajemen mengestimasi pembangunan pabrik flotasi kedua rampung pada bulan lalu, sehingga hasilnya dapat tercermin di dalam laporan keuangan kuartal III/2018. Namun, kendala cuaca membuat pembangunannya molor.
Pabrik baru yang menelan biaya investasi US$20 juta itu dibangun mulai Juni 2017. Adapun, pada tahun ini ZINC mengalokasikan capex sekitar US$20 juta, yang sudah dipakai setengahnya pada semester I/2018.
Hendra menuturkan, peningkatan produksi pada kuartal IV/2018 membuat perseroan mengestimasi EBITDA sampai akhir tahun mencapai Rp380 miliar. Target pendapatan diperkirakan sebesar Rp1 triliun.
“Beroperasinya pabrik flotasi kedua juga membuat kami lebih efisien, sehingga bisa melakukan penghematan operasional,” tuturnya.
Menurutnya, perseroan memang terdampak pelemahan harga seng dan timbal akibat penguatan dolar AS. Namun, dalam jangka panjang pertumbuhan permintaan stabil, tetapi produksi global menurun. Alhasil, harga logam akan cenderung menguat.
Di sisi lain, ZINC yang berorientasi pasar 100% ekspor diuntungkan dengan melesunya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apalagi, kebutuhan operasional perusahaan menggunakan mata uang domestik.
“Kami memang terdampak rupiah, terutama karena penjualan 100% ekspor. Setelah mendapat dana dalam dolar AS, langsung kami konversi ke rupiah karena operasional pakai rupiah,” imbuhnya.