Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga diprediksi tertekan jika Indonesia membuka keran ekspor konsentrat sebesar 1,78 juta ton.
Pada penutupan perdagangan Jumat (17/2) di bursa London Metal Exchange (LME), harga tembaga turun 0,67% atau 40 poin menjadi US$5.960 per ton. Namun, pada penutupan perdagangan Selasa (21/2), harga bertengger di posisi US$6.060 per ton.
Dalam risetnya Rabu (22/2/2017), analis National Bank of Abu Dhabi (NBAD) menyebutkan, menguatnya harga tembaga didorong oleh komentar Freeport yang belum akan melakukan ekspor.
NBAD yang mengutip pernyataan Chief Executive Freeport menuliskan, PTFI memiliki sekitar 10% tenaga kerja asing yang sudah dipecat pada Jumat kemarin, dan minggu ini sejumlah karyawan kontrak akan menghadapi pemutusan kerja. Perusahaan juga akan membawa pemerintah Indonesia ke arbitrase dan meminta kompensasi.
Selain dari sentimen Freeport, harga tembaga juga terangkat oleh pemogokan pekerja di tambang Escondida, Cile, milik BHP Billiton. Para pekerja menolak nilai upah baru dan melakukan aksi mogok selama lima hari pada awal Februari. Kesepakatan antara kedua belah pihak masih dalam proses, dan pemerintah Cile turun tangan sebagai penengah.
Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, mengatakan keputusan Kementerian ESDM menerbitkan persetujuan ekspor konsentrat tembaga kepada PTFI dan PTAMNT bakal menambah suplai global, yang kemudian menekan harga.
Seperti diketahui, pada Jumat (17/2/2017), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan persetujuan ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PTAMNT).
PTFI mendapat jatah volume ekspor sebanyak 1,11 juta wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017. Pemberian izin berlaku sejak 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.
Adapun untuk PTAMNT, kuota ekspor yang diberikan sebanyak 675.000 WMT konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 353/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017, dan berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 hingga 16 Februari 2018.
Di sisi lain, sebagai perusahaan penambang tembaga terbesar di dunia, sinyal penaikan produksi dari grup Freeport bisa menggoda perusahaan di Cile untuk menjalin kesepakatan dengan pekerja. Tujuannya ialah melancarkan kembali kegiatan produksi agar tidak kehilangan pasar.
"Tidak hanya tambahan suplai dari ekspor langsung, tetapi pasokan dari Freeport memicu tambang di Cile untuk membenahi produksinya. Bisa jadi kesepakatan dengan pekerja [tambang Escondida] segera dibereskan," ujarnya saat dihubungi.
Dengan proyeksi bertambahnya suplai di pasar global, sambung Ibrahim, harga berpeluang menuju area US$4.900-an dalam jangka pendek. Adapun dalam jangka panjang, harga tembaga ditopang oleh sentimen dari AS dan China. Saat ini, pembangunan tembok perbatasan di Paman Sam akan dimulai, sehingga menyerap sejumlah komoditas logam.
Sementara di Negeri Panda, pemerintah setempat mengimbau agar para investor tidak terlalu melakukan spekulasi di pasar komoditas. Pasalnya, China merupakan spekulan komoditas terbesar.
Dari sisi suplai, pemerintah China juga menahan aktivitas penambangan sejumlah komoditas, seperti batu bara dan logam. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki harga di tingkat global dan menambah pemasukan negara.
Ibrahim menyimpulkan, meski dalam waktu dekat harga tembaga mengalami tekanan, tetapi untuk jangka panjang masih ditopang oleh proyeksi peningkatan permintaan. Oleh karena itu, harga masih berpeluang menyentuh level US$7.000 per ton antara 2017-2018.
"Secara fundamental untuk jangka panjang bisa membaik. Namun, masih ada gangguan sentimen dari rencana pengerekan suku bunga Federal Reserve," tuturnya.