Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Arah Wall Street Pekan Ini: Investor Menanti Data Ketenagakerjaan AS

Investor menanti data ketenagakerjaan AS yang lemah, yang dapat memicu ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada September.
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle
Pialang berada di lantai Bursa Efek New York (NYSE) di New York, Amerika Serikat. Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA - Rilis data pasar tenaga kerja AS akan menguji keyakinan investor atas pemangkasan suku bunga dan tren reli saham Wall Street dalam sepekan ke depan.

Melansir Reuters pada Senin (1/9/2025), data ketenagakerjaan bulan lalu yang jauh lebih lemah dari perkiraan memperkuat ekspektasi bahwa bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), akan kembali memangkas suku bunga pada pertemuan September mendatang, sebagai upaya menopang pasar tenaga kerja meski risiko inflasi masih membayangi.

Menurut Jack Janasiewicz, Lead Portfolio Strategist di Natixis Investment Managers Solutions, laporan ketenagakerjaan yang kembali lemah pada Agustus berpotensi memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi. Namun, di sisi lain, pasar bisa menilai hal itu sebagai alasan untuk mendorong pemangkasan suku bunga lebih agresif.

“Penurunan suku bunga kemungkinan lebih dominan ketimbang perlambatan moderat di pasar tenaga kerja, yang pada akhirnya akan menopang perekonomian dan pasar saham,” ujarnya.

Laporan ketenagakerjaan menjadi rilis ekonomi utama pertama bulan ini. Survei Reuters memperkirakan penambahan 75.000 tenaga kerja pada Agustus, setelah bulan sebelumnya hanya tercatat 73.000 dengan revisi turun signifikan pada dua bulan sebelumnya.

Alex Grassino, Global Chief Economist di Manulife Investment Management, menilai indikator lain seperti tingkat pengangguran dan upah per jam kemungkinan menunjukkan pesan serupa: pasar tenaga kerja AS telah mendingin.

Ekspektasi pasar bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September semakin menguat setelah Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan risiko di pasar kerja meningkat. Data LSEG pada Jumat menunjukkan probabilitas 89% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin pada pertemuan 16–17 September mendatang.

“Itu membutuhkan kekuatan yang sangat luas dalam laporan untuk membuat The Fed mempertimbangkan kembali langkah pemangkasan suku bunga, dan kemungkinan itu cukup rendah,” kata Drew Matus, Chief Market Strategist di MetLife Investment Management.

Matus menambahkan, “Laporan yang moderat sekalipun tidak akan menghentikan The Fed untuk memangkas suku bunga.”

Futures suku bunga Fed juga mencerminkan ekspektasi pemangkasan sekitar 55 basis poin hingga akhir tahun atau setara lebih dari dua kali penurunan standar.

Saham AS terus menguat sejak menyentuh titik terendah tahun ini pada April. Investor mengabaikan kekhawatiran bahwa tarif impor yang diterapkan Presiden Donald Trump akan menyeret ekonomi ke jurang resesi. Saham teknologi dan sektor lain pun mendapat dorongan dari optimisme atas potensi bisnis kecerdasan buatan (AI).

Namun, pada perdagangan Jumat (29/8/2025), indeks saham terkoreksi karena penurunan di saham terkait AI memperburuk pelemahan sektor teknologi. Menjelang laporan keuangan Broadcom pada Kamis depan, indeks S&P 500 tercatat naik 1,9% sepanjang Agustus, mendorong kenaikan sepanjang tahun menjadi sekitar 10%, mendekati level tertinggi sepanjang masa.

Meski demikian, pasar kini memasuki periode yang secara historis rawan. Berdasarkan Stock Trader’s Almanac, dalam 35 tahun terakhir, September tercatat sebagai bulan terburuk bagi S&P 500 dengan rata-rata penurunan 0,8%. Indeks bahkan turun di 18 dari 35 kali perdagangan September, menjadikannya satu-satunya bulan yang lebih sering mencatat penurunan.

Gejolak di Internal The Fed

Selain data ekonomi, perkembangan di internal The Fed turut menjadi perhatian pasar setelah Trump bergerak memecat Gubernur The Fed Lisa Cook dalam upayanya merombak jajaran dewan bank sentral. Cook lantas mengajukan gugatan pada Kamis lalu dengan alasan Trump tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikannya.

Kontroversi tersebut kembali memunculkan kekhawatiran atas kredibilitas dan independensi The Fed dalam menjalankan kebijakan moneter di tengah tekanan politik. Meski begitu, Grassino menilai risiko tersebut untuk sementara masih tercermin wajar di pasar.

“Banyak hal yang sebelumnya dianggap kepastian oleh pelaku pasar tradisional kini mulai dipertanyakan. Kondisi itu memperluas risiko-risiko ekstrem yang mungkin terjadi,” ungkapnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro