Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Polemik Pasokan Gas dan Prospek Saham Migas MEDC, PGAS hingga GTSI

Pasokan gas terbatas berdampak negatif bagi MEDC dan PGAS, namun menguntungkan GTSI dengan meningkatnya permintaan LNG. MEDC hadapi tekanan pendapatan, PGAS alami tantangan margin, sementara GTSI diuntungkan tren LNG.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen di Jawa Timur/Medco.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen di Jawa Timur/Medco.

Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi pasokan gas dalam negeri yang terbatas saat ini dinilai dapat berdampak negatif bagi PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN (PGAS). Saat yang sama keterbatasan permintaan gas cair atau LNG akan meningkat dan menjadi angin segar bagi PT GTS Internasional Tbk. (GTSI) yang menyediakan jasa penyewaan kapal angkut. 

Senior Analyst Riset Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas mengatakan diversifikasi portofolio dan harga minyak bakal menjadi penopang pendapatan MEDC yang berpotensi tertekan karena harus mengalihkan sebagian kuota ekspor gasnya untuk memasok PGAS.

Untuk memastikan keberlangsungan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), PGAS akan menerima 27 billion British thermal units per day (BBtud) dari West Natuna Gas Supply Group yang didapatkan melalui mekanisme swap gas multi-pihak. Pengalihan kuota ekspor MEDC untuk program gas murah pemerintah ini dinilai bisa memangkas keuntungan perseroan karena harganya lebih murah.

"MEDC berpotensi kehilangan sebagian pendapatan karena kuota ekspor gas dialihkan ke program HGBT. Namun, portofolio migas yang terdiversifikasi dan harga minyak yang masih stabil bisa meredam tekanan," kata Sukarno kepada Bisnis, Senin (25/8/2025).

Dalam semester I/2025 jumlah pendapatan yang dibukukan MEDC terkikis dari US$1,16 miliar menjadi US$1,14 miliar. Penurunan ini disebabkan lesunya pendapatan dari kontrak dengan pelanggan yang tercatat turun dari US$1,14 miliar menjadi US$1,11 miliar. Dari pos lainnya, pendapatan keuangan juga turun dari US$24,31 juta menjadi US$23,63 juta.

Sementara bagi PGAS, Sukarno menilai meskipun perseroan mendapatkan pasokan gas dari MEDC posisinya tidak serta merta menguntungkan. Menurutnya, pasokan gas domestik yang terbatas memaksa mereka mengandalkan regasifikasi gas cair atau LNG yang mahal sehingga memangkas margin pendapatan. 

Merujuk laporan keuangan, pendapatan PGAS dalam tiga bulan pertama 2025 sebenarnya mampu tumbuh 1,81% YoY menjadi US$966,56 juta. Namun, di saat yang sama PGAS menanggung beban pokok pendapatan yang naik 11,98% YoY menjadi US$ 825,95 juta.

"Tetapi, sisi positifnya pendapatan jasa regasifikasi pihak ketiga berpotensi naik seiring melimpahnya LNG global," ujarnya.

Dalam tiga bulan pertama, pendapatan PGAS dari pendapatan jasa regasifikasi pihak berelasi tumbuh dari US$26,26 juta menjadi US$40,49 juta. Sedangkan, pendapatan jasa regasifikasi pihak ketiga menyusut dari US$12,54 juta menjadi US$6,57 juta.

Sementara jika melihat peluang pasar LNG, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) dalam melaporkan bahwa peningkatan pasokan LNG akan naik pesat menjadi 7%, atau 40 miliar meter kubik per tahun pada 2026.

Laporan tersebut menyatakan bahwa sejak krisis energi pada 2022 ketika Eropa kehilangan sebagian besar aliran pipa dari Rusia, negara-negara di seluruh dunia telah bersaing untuk mendapatkan pasokan LNG global yang relatif ketat.

IEA memperkirakan peningkatan produksi bahan bakar ini akan mendorong rekor permintaan gas tahun depan, terutama di pasar-pasar Asia yang sensitif terhadap harga, serta di Afrika dan Timur Tengah.

Kala pasokan gas terbatas dan LNG global melimpah ruah, Sukarno menilai hal ini justru akan menjadi angin segar bagi emiten pengiriman gas seperti PT GTS Internasional Tbk. (GTSI).

"GTSI justru mendapat momentum, permintaan jasa angkutan LNG meningkat saat industri beralih ke LNG," ujarnya.

Sukarno menjelaskan momentum itu tercermin dalam pendapatan jasa sewa kapal gas alam cair yang meningkat dari US$14,86 juta menjadi US$16,69 juta pada semester I/2025. Pertumbuhan ini membuat pendapatan perseroan juga naik dari US$15,28 juta menjadi US$17,01 juta.

Pertumbuhan di sisi top line ini membuat laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk atau laba bersih emiten Tommy Soeharto ini melesat dari US$2,76 juta menjadi US$3,75 juta.

Kondisi pasar saat ini menjadi sentimen kinerja ketiga emiten di pasar modal. Sukarno mengatakan, Kiwoom Sekuritas melihat prospek MEDC dalam jangka menengah masih terjaga meski ada tekanan jangka pendek. "Posisi terbaik adalah hold," ujarnya.

Sementara itu, PGAS menghadapi tantangan margin yang signifikan, sehingga Kiwoom Sekuritas merekomendasikan netral sambil menunggu kepastian pasokan domestik. 

Sebaliknya, Kiwoom Sekuritas menilai GTSI menjadi salah satu beneficiary tren LNG, dengan prospek laba yang berpotensi terus menguat. Apalagi, GTSI dinilai masih undervalued dengan PE 10 kali dan PBV 1,33 kali.

"Layak dipertimbangkan sebagai trading buy bagi investor dengan risk appetite tinggi, target harga Rp78," pungkasnya.

-------------

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro