Bisnis.com, JAKARTA — Investor global tampaknya belum akan bosan untuk masuk ke aset negara berkembang atau emerging markets. Dorongan untuk diversifikasi dan posisi investasi yang masih ringan menjadi faktor pendorong.
Divisi Manajemen Aset Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan arus modal masuk ke pasar negara berkembang akan terus bergulir. Adapun, selama bertahun-tahun kelas aset ini menderita aksi jual dari investor global.
"Arah arus dana mulai berbalik [ke pasar negara berkembang]. Kami percaya pasar negara berkembang sedang menangkap gelombang pertama," ujar Anupam Damani, Kepala Bersama Div. Utang Pasar Negara Berkembang Goldman Sachs Asset Management, dikutip Bloomberg, Jumat (25/7/2025).
Dia mengatakan negara berkembang sudah tersisih selama bertahun-tahun karena dominasi risiko berpusat di AS. Dengan perkembangan belakangan ini, diversifikasi kembali menjadi pilihan di dalam portofolio global.
Berdasarkan data Bloomberg, arus masuk ke aset negara berkembang mulai meningkat sejak awal April 2025 ketika Presiden AS Donald Trump mengguncang pasar lewat pengumuman tarif resiprokal. Hal itu telah memicu peninjauan ulang atas eksposur berlebih terhadap ekonomi terbesar dunia tersebut.
Data terbaru EPFR Global yang dihimpun Bank of America Corp. menunjukkan para investor mulai secara konsisten menanamkan dana ke dalam reksa dana utang negara berkembang selama 13 pekan berturut-turut. Alhasil, arus masuk bersih ke negara berkembang sejak awal tahun ini telah melampaui $25 miliar.
Meskipun kekhawatiran akan resesi di AS telah mereda, Goldman Sachs memperkirakan pertumbuhan di pasar negara berkembang diperkirakan akan melampaui negara maju sebesar 2,5% tahun ini — naik dari 2,3% pada 2024.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks obligasi mata uang lokal negara berkembang mencatatkan imbal hasil sebesar 12% sepanjang 2025, sementara dolar AS melemah terhadap 18 dari 23 mata uang negara berkembang.
Obligasi dolar yang diterbitkan oleh negara berkembang juga telah naik 5,3% dalam periode yang sama, mengungguli kenaikan 5,1% pada indeks obligasi korporasi AS berimbal hasil tinggi.
Lebih lanjut, Damani melihat investor asing mungkin akan tergoda untuk merealisasikan keuntungan karena kinerja kuat tahun ini ditopang faktor teknikal, harga minyak, dan depresiasi dolar. Namun, sepertinya investor asing masih akan melihat potensi imbal hasil yang lebih tinggi di negara berkembang.
Damani di Goldman Sachs yang turut mengelola lebih dari $44 miliar dalam strategi utang pasar negara berkembang, membidik pasar-pasar frontier tertentu dan negara-negara yang berpotensi mendapatkan kenaikan peringkat kredit.
Dia juga menyukai beberapa obligasi bandara di Amerika Latin, dengan alasan terbatasnya persaingan, tarif yang ditetapkan dalam dolar, serta volume penumpang yang tetap tangguh.
Di pasar lokal, dia melihat peluang pada bagian pendek dan menengah dari kurva imbal hasil negara berkembang seiring pelonggaran kebijakan suku bunga oleh para pembuat kebijakan.
"Namun dengan suku bunga riil yang tinggi serta mata uang yang stabil atau menguat, masih ada ruang yang cukup bagi bank sentral untuk melonggarkan kebijakan," kata Damani.