Bisnis.com, JAKARTA — Emiten rokok diproyeksikan masih menghadapi tekanan kinerja pada semester II/2025 hingga 2026 seiring risiko kenaikan ganda cukai hasil tembakau (CHT) dan terbatasnya daya beli masyarakat.
Analis Indo Premier Sekuritas Andrianto Saputra dan Nicholas Bryan, dalam riset terbarunya, memandang kinerja PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) masih penuh tantangan.
Berdasarkan laporan pratinjau kinerja kuartal II/2025, laba bersih HMSP diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau melompat 80,8% year on year (YoY) karena efek basis yang rendah pada tahun sebelumnya.
Sebaliknya, laba bersih GGRM diproyeksikan turun hingga 69% secara tahunan akibat beban tetap yang tinggi dan tekanan volume penjualan.
“Secara keseluruhan, laba HMSP diperkirakan sesuai ekspektasi konsensus, sementara GGRM di bawah,” tulis publikasi riset yang disusun oleh Andrianto dan Nicholas dikutip Kamis (17/7/2025).
Dari sisi top line, pendapatan HMSP diproyeksikan turun 2,8% YoY menjadi Rp27,9 triliun pada kuartal II/2025 dan GGRM terkoreksi 8,2% ke Rp21,8 triliun. Adapun Indo Premier memperkirakan volume penjualan HMSP bakal stagnan, sementara GGRM masih menunjukkan penurunan dua digit.
Baca Juga
Sementara itu, Andrianto dan Nicholas menilai prospek emiten rokok dibayangi kenaikan ganda CHT. Sebab, secara historis, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan ganda cukai setelah satu tahun tanpa penyesuaian.
“Karena tidak ada kenaikan cukai pada 2025, kami memperkirakan kenaikan yang lebih tajam dari biasanya kemungkinan besar terjadi pada 2026,” ucanya.
Berdasarkan catatan Indo Premier, baik HMSP maupun GGRM tidak mampu meneruskan sepenuhnya beban kenaikan cukai sebagaimana terjadi pada 2020-2024. Hal ini tecermin dari penurunan margin laba kotor pada periode tersebut.
Oleh sebab itu, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, Andrianto dan Nicholas memperkirakan skenario serupa bakal terulang pada 2026.
“Meskipun valuasi saham sektor ini tergolong menarik, kami mempertahankan pandangan netral karena lemahnya daya penetapan harga serta potensi kenaikan ganda cukai pada 2026,” pungkas keduanya.
Mereka juga menilai risiko utama tetap bertumpu pada pelemahan daya beli masyarakat yang membatasi kemampuan emiten untuk mengerek harga jual.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.