Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki target perusahaan terbuka baru sebanyak 66 emiten sepanjang 2025. Sejumlah analis menilai, beragam tantangan bakal menanti aksi IPO sejumlah emiten di semester II/2025.
Hijjah Marhama Analis MNC Sekuritas Cabang Pantai Indah Kapuk, misalnya, menilai bahwa aksi IPO di Indonesia cenderung belum efisien. Salah satu alasannya, para investor masih melihat sosok di balik emiten sebagai pertimbangan berinvestasi.
“Itulah kenapa sangat spekulatif dalam pembelian saham IPO, dan biasanya, kenaikannya tidak sustainable, karena ada yang ARB sejak awal IPO, ada yang ARA sebanyak tiga kali hingga UMA baru ARB,” katanya kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).
Adapun berdasarkan catatan Bisnis, sepanjang periode Januari–Juli 2025, tercatat sebanyak 22 emiten melakukan aksi pencatatan di Bursa. Dari total 22 emiten, 9 di antaranya mencatatkan kinerja yang buruk. Bahkan, sejumlah emiten terkoreksi hingga lebih dari 50% sejak tercatat di Bursa.
Penurunan harga paling dalam dialami oleh saham PT Raja Roti Cemerlang Tbk. (BRRC). Emiten ini semula membanderol harga sahamnya di level Rp210 per lembar saham saat penawaran umum dan langsung menyentuh ARB selepas pencatatan.
Namun, enam bulan berselang, sahamnya kini dihargai Rp57 per lembar oleh pasar. Saham emiten produsen tepung roti ini terkoreksi hingga 72,85% sejak melantai di Bursa pada 9 Januari 2025. Meskipun begitu, BRRC mampu meraup dana sebesar Rp61,21 miliar dari aksi IPO tersebut.
Baca Juga
Dengan belum efisiennya aksi IPO di Indonesia, Marhama menilai bahwa prospek IPO ke depannya bakal sangat bergantung pada underwriter dan konglomerasi perusahaan tersebut.
Hal itu tampak dari kinerja saham Grup Barito PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) yang mengalami oversubscribed 15,06 kali saat penawaran umum. CDIA semula membanderol sahamnya seharga Rp190 per lembar. Kini, saham CDIA telah melesat ke Rp474 atau naik 310,52%.
Meskipun begitu, secara fundamental, potensi pelemahan emiten-emiten yang bakal melakukan IPO pada semester II/2025 cenderung minim. Hal itu menyusul kesepakatan dagang antara AS dan Indonesia yang baru diumumkan hari ini.
Meskipun minim, potensi masih ada. Tingkat konsumsi masyarakat yang rendah dan beragam sentimen global yang berpotensi mengerek IHSG kembali turun, bakal menahan rencana investor untuk menginvestasikan dananya pada emiten-emiten yang bakal melakukan IPO di paruh kedua 2025.
"Namun bukan tidak mungkin. Jika memang perusahaan ini berada di sektor yang biasanya profitable seperti energi, basic materials, infrastruktur, prospek bisnisnya bagus, bisa diminati masyarakat," katanya.
Senada, Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas, Indri Liftiany juga menilai bahwa tantangan yang mungkin akan dihadapi emiten cukup minim. Dibandingkan semester I/2025, di tengah tantangan geopolitik seperti perang Israel–Iran, tingginya tarif Trump, tantangan pada semester II lebih kepada kebijakan pemerintah yang berpotensi mempengaruhi bisnis perusahaan.
Meskipun begitu, Indri menilai bahwa potensi IPO emiten di semester II/2025 masih cukup prospektif.
“Namun kondisi tersebut pun bergantung kembali kepada kelompok sektor apa emiten tersebut bergerak,” kata Indri saat dihubungi, Rabu (16/7/2025).
Tim Riset Kiwoom Sekuritas juga memberikan pandangan yang serupa. Menurutnya, aksi IPO pada semester II/2025 masih tampak prospektif. Namun, investor kini dinilai lebih berhati-hati dengan hanya tertarik pada emiten yang memiliki fundamental yang kuat dan valuasi yang masuk akal.
"Tantangan global memang ada, tapi bukan berarti peluang tertutup sepenuhnya," kata Tim Riset Kiwoom Sekuritas saat dihubungi, Rabu (16/7/2025).
Adapun sejumlah tantangan yang menanti calon emiten yang akan IPO tidak jua terlepas dari sentimen global, likuiditas investor yang ketat, hingga kinerja IPO sebelumnya yang mengecewakan. Menurutnya, valuasi yang tinggi juga membuat aksi IPO tidak akan disambut baik oleh para investor saat ini.
_________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.