Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Yield Terus Turun, Investor Asing Banjiri Pasar Obligasi Negara Berkembang

Aset obligasi pemerintah di negara-negara berkembang dikerubungi oleh investor asing. Negara-negara seperti Indonesia menikmati arus masuk modal asing.
Karyawan menghitung uang dolar AS di Jakarta, Selasa (1/7/2025). Bisnis/Abdurachman
Karyawan menghitung uang dolar AS di Jakarta, Selasa (1/7/2025). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Aset surat utang atau obligasi pemerintah di negara-negara berkembang dikerubungi oleh investor asing yang khawatir defisit fiskal di AS dan pelemahan greenback.

Manajer Portofolio Invesco Hong Kong Ltd. Yifei Ding mengatakan memang banyak negara di kawasan Asia yang akan terkena tarif AS. Namun, hal itu belum direspons oleh pemerintah dengan meluncurkan stimulus fiskal.

"Sebagian besar tetap mempertahankan target defisit anggaran yang rendah,” kata Ding sambil menambahkan bahwa obligasi negara berkembang menarik saat ini, dikutip Bloomberg, Senin (14/7/2025).

Adapun, surat utang dengan tenor panjang di negara maju mendapat tekanan tahun ini karena investor khawatir terhadap anggaran belanja pemerintah, seperti di Jepang dan AS. Di sisi lain, surat utang negara berkembang menikmati penurunan imbal hasil dan dana asing deras mengalir masuk.

Tren tersebut mencerminkan perubahan tajam di pasar keuangan global. Ketika pasar obligasi AS terguncang pada April 2025 akibat pengumuman tarif, mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers menyatakan Treasury AS kini seperti diperdagangkan seperti surat utang di negara berkembang.

Pada saat bersamaan, investor pun sepertinya benar-benar "pergi" ke pasar negara berkembang yang sebenarnya, termasuk ke Indonesia.

Adapun, Indonesia menerima minat tertinggi sejak 2020 dari investor nonresiden dalam lelang Surat Berharga Negara (SBN) pada awal Juli. Selanjutnya lelang obligasi acuan tenor 30 tahun di Thailand juga mencatat rasio bid-to-cover tertinggi dalam dua tahun. Penerbitan obligasi super panjang serupa oleh Malaysia pada Juni juga mendapat permintaan besar.

Data Bloomberg juga menunjukkan imbal hasil obligasi pasar berkembang telah menurun selama setahun terakhir, sementara imbal hasil di pasar negara maju meningkat.

Selanjutnya, Credit default swaps (CDS) pada negara-negara Asia berkembang ikut turun jauh lebih besar dibandingkan CDS negara maju sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif pada April.

Analis Goldman Sachs Group Inc. Kenneth Ho mengatakan peringkat kredit negara untuk ekonomi besar di Asia tampak tetap tangguh dengan cadangan devisa yang kuat, ketergantungan yang terbatas pada utang luar negeri, dan neraca transaksi berjalan yang sehat.

Selain itu, pelemahan dolar AS sekitar 8,3% sepanjang tahun berjalan juga menjadi perhatian investor. Dengan depresiasi greenback, pelaku pasar biasanya mencari obligasi dengan mata uang lain yang lebih menarik.

Dari pantauan Bloomberg, negara-negara yang menikmati aliran dana global sekitar US$34 miliar di pasar obligasinya termasuk Thailand, Indonesia, Malaysia, India, dan Korea Selatan.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Dwi Nicken Tari
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper