Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Emas Diramal Tembus US$4.000, Perang Iran-Israel Bukan Sentimen Utama

Bank of America menilai eskalasi konflik geopolitik Timur Tengah dan kondisi fiskal AS bisa menjadi sentimen pengerek harga emas ke US$4.000 per troy ounce.
Emas batangan dalam berbagai ukuran tersimpan di brankas yang berada di Jerman. / Bloomberg-Michaela Handrek-Rehle
Emas batangan dalam berbagai ukuran tersimpan di brankas yang berada di Jerman. / Bloomberg-Michaela Handrek-Rehle

Bisnis.com, JAKARTA — Kekhawatiran pasar terkait kondisi fiskal Amerika Serikat serta volatilitas pasar diperkirakan akan menjadi sentimen utama yang mengerek naik harga emas ke level US$4.000 per troy ounce dalam 12 bulan ke depan.

Dalam catatan riset yang dikutip dari Fortune pada Senin (23/6/2025), analis Bank of America atau BofA menjelaskan bahwa meski konflik antara Israel dan Iran berpotensi memanas, gejolak geopolitik bukanlah pendorong utama harga emas secara berkelanjutan.

“Perjalanan negosiasi anggaran AS akan menjadi penentu utama. Jika defisit fiskal tidak menurun, dampaknya bersama volatilitas pasar dapat menarik lebih banyak minat terhadap emas,” tulis analis BofA.

Ketegangan di Timur Tengah saat ini telah mengalihkan perhatian dari pembahasan RUU pajak dan belanja versi pemerintahan Trump yang tengah digodok di kongres. Meski terdapat perbedaan signifikan antara versi DPR dan Senat, dampak fiskalnya diperkirakan tetap akan menambah triliunan dolar terhadap defisit AS dalam beberapa tahun mendatang.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan utang AS, serta menurunnya permintaan global terhadap obligasi pemerintah AS (Treasury) yang akan diterbitkan untuk membiayai defisit tersebut.

Di sisi lain, perang dagang yang dilancarkan Presiden Trump turut menekan nilai tukar dolar AS—yang selama ini dianggap sebagai aset safe haven—dan mendorong daya tarik emas.

Sejak akhir Maret 2025, bank sentral di berbagai negara telah melepas US$48 miliar surat utang AS. Sebaliknya, tren akumulasi cadangan emas oleh bank sentral terus berlanjut, khususnya di negara-negara berkembang.

Survei terbaru dari World Gold Council menunjukkan bahwa ketidakpastian geopolitik dan potensi konflik dagang menjadi alasan utama bank sentral di negara berkembang beralih lebih agresif ke emas dibandingkan negara maju.

BofA memperkirakan saat ini kepemilikan emas oleh bank sentral setara dengan hampir 18% dari total utang publik AS yang beredar, naik dari 13% satu dekade lalu.

“Angka ini seharusnya menjadi sinyal peringatan bagi pembuat kebijakan AS. Kekhawatiran berkelanjutan atas defisit dan perdagangan berpotensi membuat bank sentral dunia semakin menjauhi Treasury dan memilih emas,” tulis tim analis BofA

Sementara itu, eksposur investor terhadap emas dinilai masih rendah. BofA memperkirakan hanya sekitar 3,5% dari total portofolio investor global yang dialokasikan ke emas.

Bahkan jika Kongres berhasil menyusun kembali RUU anggaran, BofA memandang bahwa defisit fiskal akan tetap tinggi.

“Oleh karena itu, kekhawatiran pasar terhadap keberlanjutan fiskal tidak akan hilang, terlepas dari hasil negosiasi Senat. Volatilitas suku bunga dan pelemahan dolar AS akan terus menopang harga emas, terutama jika Departemen Keuangan AS atau The Fed terpaksa turun tangan untuk menstabilkan pasar,” tutup BofA.

Dampak Konflik Timur Tengah ke Harga Emas

Pengamat Mata Uang dan Komoditas Ibrahim Assuaibi menjelaskan keterlibatan AS di Timur Tengah akan memanaskan situasi. Hal ini dapat membuat harga emas melejit tinggi.

“Kemungkinan besar harga emas dunia itu akan melejit tinggi, kembali ke US$3.450 per troy ounce, bahkan bisa mencapai level US$3.500 per troy ounce,” kata Ibrahim, Minggu (22/6/2025).

Di sisi lain, Ibrahim memperkirakan rupiah akan mengalami pelemahan, tetapi tidak terlalu signifikan akibat aksi tersebut. Ibrahim memprediksi pelemahan rupiah hanya akan berkisar 100 poin untuk awal pekan depan.

Selain emas, Ibrahim juga memperkirakan harga emas dunia mengalami kenaikan dengan serangan AS terhadap Iran. Setelah AS melakukan serangan, Ibrahim memperkirakan Iran akan melakukan blokade Selat Hormuz.

Ibrahim menjelaskan Indonesia melakukan impor minyak sebesar satu juta barel per hari. Apabila harga minyak mengalami kenaikan, ditambah dengan rupiah yang melemah, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan membengkak.

“Nah, ini yang harus diperhatikan pemerintah. Kenapa? Ini adalah saat yang tepat bahwa pemerintah harus melakukan diversifikasi menggunakan biofuel, karena kita mempunyai CPO yang cukup banyak,” ujarnya.
(Annisa Kurniasari Saumi)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper