Bisnis.com, JAKARTA — Saham lapis kedua mulai mencuri perhatian investor kala kinerja emiten blue chip penghuni LQ45 tengah meredup.
Indeks saham lapis kedua atau disebut IDX SMC Liquid mencatatkan kinerja yang positif di sepanjang tahun berjalan 2025, berbanding terbalik dengan indeks saham terlikuid atau LQ45 yang masih melempem.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IDX SMC Liquid telah berada di zona hijau di tengah volatilitas pasar dengan kenaikan 0,16% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) ke level 305,35 per Kamis (5/6/2025).
Penguatan IDX SMC Liquid ini didorong oleh moncernya harga saham sejumlah konstituen. Harga saham PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) misalnya melejit 126,23% ytd. Kemudian, harga saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) naik 15,41% ytd.
Selain itu, harga saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. (LSIP) naik 27,69% ytd dan PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) naik 33,75% ytd.
Kontras dengan kinerja indeks dengan saham terlikuid atau IDX LQ45 yang masih di zona merah, turun 3,02% ytd ke level 801,7. Sejumlah saham konstituen IDX LQ45 yang memiliki kapitalisasi pasar jumbo jeblok.
Baca Juga
Harga saham bank jumbo seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) misalnya turun 7,75% ytd dan saham PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) turun 10,96% ytd.
Selain itu, harga saham PT Astra International Tbk. (ASII) turun 5,92% ytd dan saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) turun 12,76% ytd.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan pergerakan kontras dua indeks tersebut menunjukkan adanya pergeseran minat investor ke saham-saham lapis menengah yang relatif undervalued, tetapi tetap memiliki likuiditas dan potensi pertumbuhan yang menarik.
"Terjadi rotasi di para pelaku investor atau pasar dari sebelumnya mereka menjalankan aktivitas transaksi saham di LQ45, berpindah ke SMC Liquid. Memang SMC Liquid lebih dikenal dengan market cap yang tidak terlalu besar, tapi liquid," kata Nafan, Senin (9/6/2025).
Dinamika juga semakin tajam ketika ditarik ke level papan perdagangan. Indeks papan akselerasi mencatat pertumbuhan 24,25% ytd dan indeks papan pengembangan naik 26,43% ytd. Kinerja keduanya jauh melampaui papan utama yang masih terkontraksi 2,96% ytd
Nafan melihat pergerakan kontras di level papan perdagangan pun menunjukkan bahwa pasar saat ini lebih menyukai emiten yang lincah, tematik, dan dinamis, meskipun belum tentu memiliki sejarah panjang atau kapitalisasi besar.
Ditambah, saat saham-saham utama atau blue chip di IDX LQ45 cenderung mendatar, bahkan menurun akibat aksi jual asing dan tekanan makro eksternal, saham-saham lapis kedua justru mendapat aliran minat dari investor domestik yang lebih oportunistik.
"Di sisi lain terdapat peningkatan aksi korporasi di saham-saham SMC Liquid yang benar-benar diapresiasi pelaku investor, termasuk tebaran dividen," ujar Nafan.
Meskipun, menurutnya prospek IDX SMC Liquid ke depan belum terlalu kuat. Apabila terjadi aksi profit taking investor, pelaku pasar bisa saja beralih ke IDX LQ45 yang secara teknikal, berada di level menarik atau terdiskon.
Di sisi lain, selama emiten di IDX SMC Liquid berkinerja baik, dari sisi tata kelola atau good corporate governance atau kinerja keuangan, minat investor masih tinggi. Kinerja pun akan bertahan di level hijau. Secara makro, ekonomi domestik pun menurutnya kondusif dalam mendukung likuiditas indeks lapis kedua itu.
Hal senada juga disampaikan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan yang menilai penguatan indeks SMC Liquid pada perdagangan pekan lalu, khususnya, terjadi didorong oleh penguatan sejumlah saham yang rebound.
”Wajar jika dalam beberapa waktu terakhir kinerja IDX SMC Liquid berada di atas LQ45, mengingat banyak saham di indeks ini berasal dari sektor-sektor yang sedang dalam fase pemulihan harga sejak awal tahun, seperti energi, properti, dan barang konsumsi,” kata Ekky saat dihubungi, Senin (9/6/2025).
PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), misalnya, yang sempat tertekan sejak awal tahun hingga menyentuh harga terendahnya pada Maret 2025 sebesar Rp2.300 per lembar saham kini masuk tren bullish dan bertengger di level Rp2.870.
Begitu juga dengan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) yang harga sahamnya sejak akhir 2024 hingga Mei 2025 bergerak di bawah Rp1.000. Sejak 15 Mei 2025, saham PGEO melesat hingga ditutup di level Rp1.335 pada perdagangan pekan lalu.
Selain itu, saham PT Erajaya Swasembada Tbk. (ERAA) juga kembali menguat 36,14% year to date (YtD), setelah emiten ritel itu sempat terpuruk hingga akhir Maret 2025. Kini, harga sahamnya meroket ke Rp550 per lembar, meninggalkan titik terendahnya Rp312 pada Februari 2025.
Sementara itu, indeks LQ45 yang dihuni oleh saham-saham likuid blue chip cenderung bergerak stagnan atau melemah. Menurut Ekky, hal ini disebabkan oleh sentimen makroekonomi dan perlambatan pada sektor keuangan.
Adapun, sejumlah saham bank jumbo menjadi yang paling banyak dilego asing pada perdagangan pekan lalu. Saham BBCA, misalnya, mencatatkan net sell asing sebesar Rp1,85 triliun dalam sepekan.
Kemudian, saham PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) mencatatkan net sell asing sebesar Rp719 miliar dalam sepekan. Lalu, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) banyak dijual asing dengan catatan net sell asing sebesar Rp682 miliar.
Ekky menilai, penguatan terhadap indeks SMC Liquid diproyeksi bakal berlangsung hingga akhir tahun. IDX SMC Liquid disebut masih memiliki potensi untuk melanjutkan penguatannya.
Adapun Ekky menyebut bahwa sektor energi dan basic materials bakal menjadi dua sektor yang mendorong penguatan kinerja indeks lapis kedua itu.
”Saham-saham yang berkaitan dengan energi dan basic materials, saya rasa masih akan mendominasi pergerakan positif dalam jangka pendek, seiring dengan tren harga komoditas yang mulai stabil dan rotasi sektor dari big caps ke second liners yang lebih atraktif dari sisi valuasi dan momentum,” tutupnya.
Sebaliknya, LQ45 masih harus menunggu sentimen positif berupa meredanya eskalasi perang dagang antara AS-China, hingga kembali masuknya investor ke saham-saham berkapitalisasi jumbo yang terpuruk di dalam indeks.