Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan nilai transaksi Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) telah mencapai Rp77,95 miliar sejak pertama kali diluncurkan pada 26 September 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa volume transaksi tersebut mencakup 1,6 juta ton ekuivalen CO2 hingga 28 Mei 2025.
“Volume transaksi mencapai 1,6 juta ton CO2 ekuivalen dengan nilai transaksi sebesar Rp77,95 miliar,” kata Inarno dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK, Senin (2/6/2025).
Jumlah partisipan dalam perdagangan karbon pun meningkat signifikan. Dari semula hanya 16 partisipan saat awal peluncuran, kini tercatat sebanyak 112 pengguna jasa hingga akhir Mei 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Inarno juga memaparkan kinerja pasar saham Indonesia yang mencatat hasil impresif sepanjang Mei 2025, meskipun otoritas tetap mewaspadai tingginya risiko global atau downside risk.
Berdasarkan data OJK, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 6,04% secara bulanan (month to date/mtd) hingga 28 Mei 2025 ke level 7.175,82. Sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd), IHSG tumbuh 1,35%.
Baca Juga
Nilai kapitalisasi pasar juga tercatat naik 6,11% secara bulanan menjadi Rp12.420 triliun, dengan kenaikan tahunan sebesar 0,69%.
Inarno menyebutkan bahwa pasar saham Indonesia kembali mencatat arus masuk dana asing atau net buy sebesar Rp5,53 triliun sepanjang Mei 2025, setelah sebelumnya mengalami net sell beruntun sejak Desember 2024.
“Di tengah tensi perdagangan dan dinamika geopolitik global, pasar saham Indonesia menguat dan mencatat kinerja terbaik di kawasan regional,” ujarnya.
Dia menambahkan, penguatan IHSG mencerminkan kepercayaan investor terhadap stabilitas sistem keuangan nasional, prospek ekonomi domestik, serta kinerja emiten yang tetap solid di tengah ketidakpastian global. Namun demikian, OJK tetap mencermati potensi risiko global yang masih tinggi.
Sementara itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) turut menyoroti prospek Bursa Karbon Indonesia di tengah dinamika kebijakan global, termasuk manuver Presiden AS Donald Trump yang kembali mengerek produksi batu bara dan merombak kebijakan iklim di tingkat negara bagian.
Langkah Trump tersebut sempat memicu aksi jual di pasar karbon AS dan menekan harga, meskipun kemudian pulih setelah sejumlah negara bagian menegaskan komitmennya terhadap agenda iklim.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI, Ignatius Denny Wicaksono, mengatakan pasar karbon sempat menunjukkan momentum positif sebelum perubahan kebijakan tersebut.
“Sebelum Trump, trajektorinya sudah bagus. Ada ekosistem dari target net zero emission 2060. Tapi sekarang agak mundur,” ujarnya dalam Executive Forum, Jumat (25/4/2025).
Menurut Denny, pasar karbon global juga menghadapi tantangan dari praktik greenwashing, yakni strategi pencitraan ramah lingkungan yang menyesatkan.
Laporan Bloomberg menyebutkan bahwa European Securities and Markets Authority (ESMA) menemukan indikasi praktik ESG (environmental, social, and governance) yang tidak sesuai standar, setelah meninjau lebih dari 200 bank dan manajer aset selama dua tahun terakhir.
Sejumlah pelaku industri keuangan di Eropa bahkan kedapatan menggembar-gemborkan kredensial ESG tanpa bukti dokumentasi yang memadai, sehingga menimbulkan kekhawatiran baru akan praktik greenwashing skala besar.
Meski begitu, Denny optimistis perkembangan bursa karbon di Indonesia akan terus berlanjut positif. “Ke depannya, [bursa karbon] tetap akan berkembang dengan baik di Indonesia,” tegasnya.