Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alasan di Balik Algoritma Konsesus Blockchain dan Kripto Masih Terus Berkembang

Bagaimana perkembangan algoritma konsensus dalam blockchain kripto dapat memberi peluang bagi investor?
Warga beraktivitas di dekat logo Bitcoin di Jakarta, Selasa (15/10/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Warga beraktivitas di dekat logo Bitcoin di Jakarta, Selasa (15/10/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Teknologi blockchain dan kripto masih terus berkembang, belum ada yang benar-benar mampu menjaga keseimbangan mutlak antara skalabilitas, keamanan, dan desentralisasi, atau biasa disebut Trilema Blockchain.

Namun, bagi investor berprofil risiko high-risk yang tertarik dengan perkembangan teknologi, kondisi ini justru bisa jadi berkah tersendiri. Sebab, lanskap blockchain masih akan diramaikan proyek-proyek anyar yang barangkali bisa menjadi solusi perkembangan teknologi di masa depan. 

Alhasil, buat investor berani berpartisipasi sejak dini, harapannya proyek itu akan memberikan keuntungan lewat tren lonjakan valuasi secara signifikan.

Sebagai contoh, dari sisi algoritma konsensus, Bitcoin (BTC) dengan mekanisme konsensus Proof-of-Work (PoW) memang sangat aman dan mampu menjamin desentralisasi secara nyata. Tapi kekurangannya pun tak kalah banyak. Pasalnya, para penambang Bitcoin (miners) sebagai pembuat blok sekaligus pencatat transaksi harus menyelesaikan serangkaian komputasi teka-teki matematika yang kompleks melalui perangkat mereka. 

Akhirnya, skalabilitas yang menjadi taruhan, karena algoritma ini mempersyaratkan konsumsi energi tinggi, jumlah transaksi yang bisa divalidasi pun lebih terbatas, bahkan biaya transaksi bisa melonjak apabila jaringan sedang ramai. 

Berdasarkan laporan Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF), konsumsi listrik tahunan untuk menambang BTC pun tercatat meningkat 17% secara tahunan menjadi 138TWh atau setara 0,54% pemakaian listrik global. 

"Biaya listrik menjadi beban utama para penambang Bitcoin, mencapai 80% dari biaya operasional. Nilainya sekitar US$45 per MWh untuk listrik saja, sampai US$55,5 per MWh apabila ditambah biaya investasi sumber listrik tertentu," kata Kepala Riset Digital Assets Energy and Climate Impact CCAF Alexander Neumueller, dikutip Sabtu (3/5/2025).

Mekanisme konsensus lain pun masih terus berkembang hingga saat ini. Contohnya, untuk mengejar skalabilitas dan pemakaian energi yang lebih baik, muncul konsensus Proof-of-Stake (PoS) seperti yang digunakan jaringan Ethereum. 

Berbeda dengan PoW yang boros listrik dan memakan waktu lebih lama, konsensus PoS memungkinkan suatu validator transaksi dipilih berdasarkan seberapa banyak jumlah aset yang mereka simpan dan pertaruhkan dalam jaringan (staking). Transaksi pun bisa lebih cepat, biaya lebih rendah, dan lebih hemat energi. 

Namun, tak ada konsensus yang sempurna. PoS tetap memiliki kekurangan dari sisi risiko sentralisasi apabila aset terkait mulai dikuasai oleh segelintir pihak saja. 

Selain dua konsensus populer tersebut, telah banyak bermunculan pula inovasi demi mengejar keseimbangan di semua hal. Mulai dari konsensus kombinasi, upgrade konsensus dengan kostumisasi tertentu, hingga memakai beragam konsensus lewat memisahan fungsi-fungsi blockchain secara modular.

Contohnya, muncul konsensus Delegated Proof of Stake (DPoS) seperti dalam EOS dan TRON, atau Proof of History (PoH) yang digunakan Solana, hingga Proof of Space atau Proof of Capacity. Ketiganya merupakan konsensus pengembangan PoS dan PoW, namun memiliki karakter kelebihan & kekurangan yang lebih spesifik. 

Ada juga kombinasi PoS dengan Proof of Authority (PoA) seperti yang digunakan oleh ekosistem Binance. Hal ini demi mengatasi kelemahan PoS dengan kelebihan PoA, meskipun sebenarnya cukup bertolak belakang dengan prinsip desentralisasi blockchain

Pasalnya, PoA secara umum adalah mekanisme konsensus yang mengandalkan sekelompok validator terpilih untuk memverifikasi transaksi dan membuat blok baru. Setiap validator hanya mengandalkan reputasi pribadi mereka sebagai jaminan kepercayaan, sehingga lebih menarik untuk jaringan privat yang membutuhkan efisiensi tinggi. 

Berdasarkan Pintu Academy, PoA diperkenalkan oleh Gavin Wood sebagai solusi untuk transaksi yang lebih cepat dan hemat energi, terutama dalam blockchain privat. Dengan jumlah validator yang lebih sedikit, PoA memiliki efisiensi tinggi dan skalabilitas lebih baik dibanding PoW dan PoS. 

"Dalam sistem PoA, validator dipilih berdasarkan kredibilitas, latar belakang yang bersih, serta komitmen terhadap jaringan. Setiap transaksi diverifikasi oleh authority nodes yang ditentukan secara acak sebelum dimasukkan ke dalam blok baru," jelasnya.

Keamanan PoA dijaga dengan seleksi ketat terhadap validator, serta ancaman reputasi buruk bagi mereka yang melanggar aturan.

Kelebihan PoA mencakup daya komputasi rendah, skalabilitas tinggi, dan perlindungan dari serangan 51%. Namun, kelemahannya adalah sifatnya yang lebih tersentralisasi dan risiko manipulasi akibat terbukanya identitas validator.

Kombinasi kecepatan dan keamanan menjadikannya solusi bagi perusahaan atau institusi yang ingin menerapkan teknologi blockchain dengan kontrol yang lebih ketat.

Terakhir, muncul juga Proof-of-Burn (PoB) yang mewajibkan penambang membakar koinnya untuk melakukan pekerjaan validasi transaksi, atau Proof-of-Elapsed Time (PoET) yang berbasis sistem undian secara adil. Keduanya pun memiliki keunggulan masing-masing. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper