Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Yen Jepang jadi Primadona Safe Haven kala Dolar AS Tak Berdaya

Mata uang yen Jepang sebagai aset safe haven diperkirakan makin melambung di tengah-tengah depresiasi dolar AS
Dwi Nicken Tari,Aprianto Cahyo Nugroho
Selasa, 15 April 2025 | 11:39
Ilustrasi mata uang berbagai negara di dunia, antara lain dolar AS, rupiah, yen, dan yuan. Dok Freepik
Ilustrasi mata uang berbagai negara di dunia, antara lain dolar AS, rupiah, yen, dan yuan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang yen Jepang diperkirakan makin melambung di tengah-tengah depresiasi dolar AS. Hal itu pun makin memperkuat posisi yen sebagai safe haven walaupun investor mengkhawatirkan kebijakan moneter Bank Sentral Jepang (BOJ).

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar yen Jepang terhadap dolar AS melemah tipis 0,08% menjadi 143,14 yen per dolar AS pada pukul 11.28 WIB, Selasa (15/4/2025). Sejak awal tahun ini, yen sudah menguat 8,98% terhadap greenback.

Pada saat bersamaan, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan mata uang utama dunia menguat 0,09% menjadi 99,63. Sejak awal tahun, kekuatan dolar AS anjlok 8.06%.

Adapun, posisi dolar AS yang makin melemah disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan di Amerika Serikat. Saat ini, jelas sekali investor mencari jalan aman dengan mengakumulasikan yen Jepang.

Ekspektasi kenaikan suku bunga oleh BOJ pun tertutupi oleh kekhawatiran dampak tarif impor AS terhadap pertumbuhan ekonomi global. Adapun, pelaku pasar kini memperkirakan peluang BOJ hanya sebesar 50% untuk menaikkan suku bunga hingga akhir tahun. Hal itu kontras dari keyakinan penuh bulan lalu yang memperkirakan BOJ akan menaikkan suku bunga.

Analis Goldman Sachs Inc. mengatakan BOJ bisa saja menunda untuk menaikkan suku bunga dalam rapat kebijakan Mei 2025 apabila yen terus menguat. Adapun, apresiasi yen dapat menekan laba para eksportir Jepang, menurunkan harga impor, dan menambah beban BOJ untuk melakukan pengetatan.

"Jika yen menguat ke bawah 130, BOJ dapat menurunkan perkiraan inflasi untuk tahun fiskal 2026 menjadi sekitar 1,5%, atau di bawah target 2%," tulis analis Goldman Sachs yang termasuk Akira Otani, dikutip Bloomberg, Selasa (15/4/2025).

Sementara itu, pelemahan beruntun dolar dan obligasi AS yang selama ini dianggap sebagai tempat aman saat gejolak global memunculkan kekhawatiran bahwa investor mulai menarik diri dari aset-aset AS.

“Pelemahan dolar dan obligasi adalah kombinasi beracun,” kata kepala strategi makro Mizuho International Plc Jordan Rochester.

Di pasar saham dan obligasi, indeks S&P 500 naik 0,8%, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun merosot 11 basis poin ke level 4,38%. Pekan lalu, lonjakan yield terbesar dalam lebih dari dua dekade sempat terjadi akibat kekhawatiran atas dampak perang dagang.

Pertanyaan besar yang kini mengemuka di Wall Street adalah apakah tindakan Trump telah memberi dampak jangka panjang terhadap persepsi bahwa dolar dan obligasi AS adalah aset paling aman saat krisis.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper