Bisnis.com, JAKARTA – Kekhawatiran pasar atas ketidakpastian arah kebijakan tarif kembali menekan dolar Amerika Serikat (AS) yang terperosok ke level terendah dalam enam bulan terakhir pada Senin (14/4/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS yang melacak pergerakan greenback terhadap mata uang utama lainnya melemah 0,46% ke level 99,64.
Sementara itu, indeks dolar Bloomberg ditutup turun 0,3%, memperpanjang penurunan tahun ini menjadi sekitar 6,1% dan berpotensi menjadi kerugian tahunan terbesar sejak 2017.
Meski saham dan obligasi AS sempat reli menyusul kabar bahwa Presiden Donald Trump menangguhkan tarif pada sejumlah produk elektronik, sentimen terhadap dolar tetap goyah. Hal ini diperparah oleh pernyataan Trump bahwa kelonggaran tersebut bersifat sementara.
Pelemahan beruntun dolar dan obligasi AS yang selama ini dianggap sebagai tempat aman saat gejolak global memunculkan kekhawatiran bahwa investor mulai menarik diri dari aset-aset AS di tengah perubahan besar dalam kebijakan perdagangan dan ketidakpastian politik yang meluas.
“Pelemahan dolar dan obligasi adalah kombinasi beracun,” kata kepala strategi makro Mizuho International Plc Jordan Rochester seperti dikutip Bloomberg, Selasa (15/4/2025).
Baca Juga
Pasar opsi mencerminkan langkah antisipatif dari para pelaku yang bersiap menghadapi tekanan lebih lanjut terhadap dolar.
Indeks yang mengukur “risk reversals” tiga bulan, selisih antara opsi beli dan jual terhadap mata uang utama, turun ke titik terendah dalam lima tahun yang menunjukkan minat lebih besar terhadap posisi yang menguntungkan saat dolar AS melemah.
Di pasar saham dan obligasi, indeks S&P 500 naik 0,8%, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun merosot 11 basis poin ke level 4,38%. Pekan lalu, lonjakan yield terbesar dalam lebih dari dua dekade sempat terjadi akibat kekhawatiran atas dampak perang dagang.
Pertanyaan besar yang kini mengemuka di Wall Street adalah apakah tindakan Trump telah memberi dampak jangka panjang terhadap persepsi bahwa dolar dan obligasi AS adalah aset paling aman saat krisis.
Analis Standard Bank Steve Barrow mengatakan investor saat ini mungkin sedang menyaksikan perubahan cara pasar memandang dolar AS, terutama dalam tekanan terhadap pasar finansial global.
“Pasar obligasi AS yang selama ini menjadi simbol keamanan kini justru tampak goyah,” ungkapnya.
Sentimen senada diungkapkan kepala riset pasar global MUFG Bank Derek Halpenny, yang menggarisbawahi komentar Trump dan Menteri Perdagangan Howard Lutnick soal rencana tarif baru khusus untuk sektor teknologi.
“Sulit melihat faktor fundamental yang dapat memulihkan kepercayaan investor dalam waktu dekat. level teknikal penting sudah jebol pekan lalu,” tulis Halpenny dalam laporannya.
Meskipun beberapa indikator opsi menunjukkan sentimen negatif mulai berkurang, posisi pasar tetap mencerminkan pandangan bearish terhadap dolar—level yang tak terlihat sejak awal pandemi.
Survei Bloomberg menunjukkan hampir 80% responden memperkirakan dolar akan melemah lebih lanjut dalam sebulan mendatang, level tertinggi sejak survei dimulai pada 2022.
Analis di JPMorgan dan Mizuho memperkirakan tren negatif masih berlanjut, terutama terhadap yen dan euro, mengingat risiko resesi AS masih membayangi.
Goldman Sachs menambahkan, jika tarif menggerus margin laba perusahaan AS dan daya beli konsumen, maka daya tarik unik dolar sebagai mata uang kuat bisa runtuh, sekaligus mengguncang pilar utama kekuatan greenback.