Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia kembali tergelincir Selasa (8/4/2025) dan ditutup turun lebih dari US$1 per barel ke menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir.
Penurunan ini dipicu meningkatnya kekhawatiran pasar atas potensi resesi global akibat memanasnya konflik dagang antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China.
Melansir Reuters, Rabu (9/4/2025), minyak mentah Brent ditutup turun melemah US$1,39 atau 2,16% ke level US$62,82 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) merosot US$1,12 atau 1,85% ke level US$59,58.
Sejak Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif menyeluruh terhadap produk impor pada 2 April lalu, kedua harga minyak acuan tersebut telah kehilangan 16% nilainya.
Pemerintah AS akan resmi menerapkan tarif 104% terhadap barang-barang asal China mulai Rabu dini hari waktu setempat. Langkah ini diambil setelah Beijing menolak mencabut tarif balasan 34% yang dikenakan terhadap produk AS.
Presiden Trump sebelumnya mengancam menambahkan 50% tarif tambahan jika China tidak memenuhi tenggat yang ditetapkannya pada Selasa siang.
Baca Juga
China tak tinggal diam. Melalui Kementerian Perdagangan, Beijing menyatakan tidak akan tunduk pada tekanan yang mereka sebut sebagai “pemerasan” dari Washington. Pernyataan ini kian memperkeruh suasana dan memperdalam kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global.
Dampaknya terasa cepat. Bahkan setelah penutupan perdagangan, harga minyak terus meluncur. WTI sempat menyentuh US$57,88 per barel dalam perdagangan lanjutan, sementara indeks saham AS turut melemah secara luas.
“Situasi saat ini memberi sinyal kuat akan potensi resesi global, dengan kekhawatiran serius atas penurunan permintaan energi,” tulis Direktur Strategi Pasar StoneX Alex Hodes dalam catatannya.
Di tengah gejolak ini, Goldman Sachs memperkirakan harga Brent dan WTI masing-masing akan bertahan di angka US$62 dan US$58 per barel hingga akhir 2025. Dalam skenario yang lebih pesimistis, harga bisa jatuh ke US$55 dan US$51 setahun kemudian.
Menurut Kepala Strategi Komoditas Global J.P. Morgan Natasha Kaneva, pemerintahan AS tampak berambisi menekan harga minyak ke level $50 atau lebih rendah.
“Demi tujuan itu, mereka bahkan siap menghadapi turbulensi industri seperti yang terjadi saat perang harga minyak antara OPEC dan produsen shale pada 2014 silam,” jelas Kaneva.
Di luar perang dagang, Trump juga mengejutkan pasar dengan pengumuman bahwa AS dan Iran akan memulai pembicaraan terkait program nuklir Teheran. Meski demikian, Menteri Luar Negeri Iran menegaskan bahwa perundingan akan bersifat tidak langsung.
Menteri Energi AS Chris Wright menyatakan bahwa sanksi terhadap Iran akan diperketat jika tidak ada titik temu dalam negosiasi.
Di sisi lain, laporan mingguan dari American Petroleum Institute menunjukkan stok minyak mentah AS turun 1,1 juta barel pada pekan yang berakhir 4 April, sementara stok bensin naik 210.000 barel dan distilat turun 1,8 juta barel.
Data resmi dari Energy Information Administration dijadwalkan rilis pada Rabu waktu setempat.