Bisnis.com, JAKARTA — Sesuai prediksi, pasar saham Indonesia merosot tajam setelah libur panjang Lebaran akibat sentimen tarif impor Presiden AS Donald Trump. Meski begitu, penurunan IHSG diredam oleh revisi auto rejection bawah (ARB) dari simetris menjadi maksimal 15% untuk semua fraksi saham.
Keputusan untuk merevisi aturan auto rejection bawah (ARB) diumumkan Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (8/4/2025) pagi atau beberapa jam sebelum perdagangan saham dimulai usai libur sejak 28 Maret 2025.
Manajemen BEI dalam keterangan resminya mengatakan dalam rangka memastikan perdagangan efek dapat berjalan secara teratur, wajar, dan efisien, BEI dengan dukungan OJK melakukan penyesuaian terhadap Surat Keputusan Direksi Bursa perihal Perubahan Peraturan II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dan Surat Keputusan Direksi Bursa tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia Dalam Kondisi Darurat.
Aturan auto rejection bawah (ARB) diubah menjadi 15% bagi efek berupa saham pada Papan Utama, Papan Pengembangan, dan Papan Ekonomi Baru, kemudian Exchange-Traded Fund (ETF), serta Dana Investasi Real Estat (DIRE) untuk seluruh rentang harga.
Revisi itu merujuk pada Surat Keputusan Direksi tanggal 8 April 2025 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat dan Peraturan Nomor II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas.
Batasan ARB itu lebih rendah dari aturan sebelumnya yang memberlakukan ARB simetris dengan auto rejection atas (ARA) sesuai dengan fraksi harga sahamnya. Dalam aturan sebelumnya, saham dengan rentang harga Rp200 sampai kurang dari Rp5.000, misalnya, dikenakan ARB dan ARA sebesar 25%.
Selain aturan ARB, perubahan juga dilakukan terhadap ketentuan pembekuan perdagangan saham sementara di BEI. Trading halt dilakukan selama 30 menit apabila IHSG turun hingga lebih dari 8%. Batasan itu lebih tinggi dari sebelumnya hanya 5%.
Artinya, tanpa revisi aturan trading halt bisa jadi IHSG mengalami 2 kali pembekuan perdagangan sementara pada perdagangan kemarin.
Trading halt kedua selama 30 menit dilakukan BEI IHSG apabila mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15%. Selanjutnya, trading suspend apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20% dengan ketentuan sampai akhir sesi perdagangan, atau lebih dari satu sesi perdagangan setelah mendapat persetujuan atau perintah OJK. Dalam aturan sebelumnya, trading suspend dilakukan apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15%.
Direktur Utama BEI Iman Rachman mengatakan latar belakang penyesuaian itu dilakukan sejalan dengan kinerja indeks saham global yang turun secara signifikan dalam periode 27 Maret—7 April 2025. Kondisi itu tidak dialami oleh BEI karena libur Idulfitri.
“ARB ini kami benchmarking dengan bursa-bursa global dan mendengar masukan dari pelaku pasar. Kami memberikan ruang likuiditas kepada investor untuk memberikan waktu mereka memutuskan investasi merespons informasi yang ada di market,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung BEI, Selasa (8/4/2025).
Revisi dua aturan itu berimbas langsung di pasar saham sejak awal perdagangan kemarin. Sederet saham dibuka anjlok, tetapi maksimal hanya turun 15% sebelum perdagangannya otomatis dihentikan.
Akibatnya, IHSG mengalami trading halt karena jeblok 9,19% ke level 5.912,06 pada Selasa (08/04/2025) pukul 09.00 WIB.
Setelah 30 menit digembok, IHSG bermanuver di kisaran 5.900-6.000 dan ditutup turun 7,9% ke posisi 5.996,14. Di level itu, IHSG sudah jeblok 15,31% sepanjang tahun berjalan 2025.
Saham penekan utama IHSG kemarin ialah BBRI -10,12%, BBCA -8,53%, BMRI -10,19%, BREN -13,82%, GOTO -14,46%, AMMN -14,23%, dan DCII anjlok 10,69%.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Dimas Krisna Ramadhani juga memperkirakan adanya koreksi lanjutan IHSG menuju level 5.500.
Dimas menyatakan pergerakan IHSG yang membentuk level terendah baru merupakan leading indicator terhadap kondisi ekonomi nasional. Artinya, dinamika indeks saham hari ini dapat mencerminkan tantangan ekonomi dalam waktu dekat.
“Kita perlu memproyeksikan kondisi ke depan dengan melihat sinyal yang diberikan oleh IHSG, dan tidak hanya menggunakan acuan kondisi saat ini,” ujar Dimas.
Dia menambahkan dengan kebijakan moneter yang cenderung terbatas, tantangan diperkirakan meningkat saat ekonomi riil mulai menunjukkan perlambatan sebagaimana tecermin dalam pergerakan indeks dalam beberapa bulan terakhir.
Di sisi lain, kebijakan teknis seperti auto-rejection bawah (ARB) dan trading halt dinilai belum sepenuhnya mampu meredam kepanikan pasar. Meskipun kebijakan trading halt diapresiasi sebagai bentuk mitigasi tekanan jual jangka pendek, tetapi penyesuaian ARB menjadi 15% justru dinilai bisa mengurangi likuiditas pasar.
“Jika market maker melihat tekanan jual masih besar, mereka cenderung menunggu. Akibatnya, saham-saham yang tidak terkait dengan foreign flow justru banyak yang menyentuh ARB hari ini, tapi dengan volume transaksi yang rendah,” ucapnya.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan bahwa secara teknikal, IHSG saat ini dalam pola descending broadening wedge dengan sudut kanan, menunjukkan potensi pembalikan tren bearish menjadi bullish.
Menurut Nafan, indeks komposit sudah beberapa kali menyentuh batas bawah pola ini dan indikator RSI menunjukkan adanya positive divergence.
Hal tersebut membuka peluang bagi IHSG untuk keluar dari fase markdown menuju fase sideways atau akumulasi, dan selanjutnya ke fase markup.
“Artinya, pasar sudah cukup mencerminkan risiko eksternal. Namun jika terjadi koreksi lanjutan, skenario negatif ada di level 5.500. Sementara itu, skenario positif dan optimistis berada di kisaran 6.808 hingga 7.709,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Dia juga menyatakan bahwa jarak antara posisi IHSG saat ini ke skenario negatif relatif lebih dekat dibandingkan menuju target optimistis. Hal tersebut menunjukkan bahwa indeks komposit sudah priced in atau didiskon.
“Investor baru bisa mulai memanfaatkan peluang ini untuk mulai aktif melakukan akumulasi. Sedangkan investor lama, harus tetap disiplin dalam melakukan manajemen risiko dan keuangan, serta bersabar,” ungkap Nafan.
Head of Investment Specialist Manulife Investment Management Freddy Tedja memperkirakan dalam jangka pendek, volatilitas pasar masih akan tetap tinggi menantikan perkembangan negosiasi tarif serta dampak tarif terhadap laporan keuangan emiten, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.
Namun, pembalikan sentimen dapat terjadi sewaktu-waktu, berkaca dari periode awal tarif terhadap Kanada dan Meksiko di Februari dan Maret 2025, saat Trump dengan cepat menunda implementasi tarif sehingga mengangkat sentimen di pasar.
Menurut Freddy, dalam kondisi seperti ini, penting bagi investor untuk memiliki portofolio yang terdiversifikasi, serta memastikan aset likuid sehingga dapat menjaga volatilitas portofolio dan memanfaatkan potensi pembalikan sentimen di pasar.