Selain itu, stabilitas nilai tukar rupiah dan kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga daya tarik aset domestik disebut akan menjadi faktor penting untuk menarik kembali investor nonresiden ke lantai bursa Tanah Air.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengatakan asing telah konsisten jual bersih saham Indonesia akibat berbagai sentimen, namun yang paling memberatkan adalah dari faktor domestik. Pada awal tahun ini, APBN Indonesia mencatatkan defisit dan kemungkinan melebar mendekati 3% ke depannya.
Rasio utang luar negeri berbanding produk domestik bruto (PDB) pun semakin membesar ke arah 50% dari posisi saat ini yang masih di bawah 40%.
Apalagi sejak institusi internasional besar seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs menurunkan peringkat Indonesia. "Artinya semakin mengecilkan kolam investasi Indonesia, membuat asing harus mengurangi porsi portfolionya di Indonesia," kata Liza.
Bahkan, lembaga pemeringkat asing Moody’s dan Fitch memperingatkan risiko yang mengintai superholding BUMN yang baru dibentuk, yakni Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
"Strategi investasi dan tata kelola Danantara juga belum jelas, sehingga berpotensi meningkatkan risiko liabilitas pada neraca pemerintah. Belum lagi kemungkinan lebih banyak keputusan investasi bermuatan politis ketimbang ekonomis," tutur Liza.
Meski begitu, Liza menilai apabila Danantara diolah dengan professional dan orientasi laba yang sehat, Moody's pun akan menilai potensi dalam meningkatkan efisiensi BUMN serta menarik modal asing.
Ke depan, menurut Liza penerapan good corporate governance (GCG) yang bersih dan cermat akan bisa mengubah pandangan investor asing bahwa Indonesia adalah negara yang layak untuk mereka investasikan dalam jangka panjang.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.