Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelemahan Rupiah Diproyeksi Terus Berlanjut, Bakal Sentuh Rp17.000 per Dolar AS?

Rupiah diproyeksi lanjut melemah dan berisiko menyentuh Rp17.000 per dolar AS pada akhir 2025.
Karyawan memperlihatkan uang Rupiah dan Dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (3/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan memperlihatkan uang Rupiah dan Dolar AS di salah satu tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (3/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — BMI (Business Monitor International) memproyeksikan pelemahan rupiah akan berlanjut hingga menyentuh Rp17.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir 2025.

Berdasarkan risetnya, lembaga riset Fitch Groups itu menyatakan bahwa pelemahan rupiah disebabkan oleh volatilitas global akibat ketidakpastian kebijakan AS ditambah dengan perubahan rencana belanja pemerintah.

Hal tersebut telah menyebabkan rupiah anjlok ke level terendah sepanjang masa, Rp16.561 per dolar AS pada akhir Februari lalu.

BMI menjelaskan bahwa situasi ini akan menjadi lebih buruk apabila Bank Indonesia (BI) tidak turun tangan untuk menghentikan penurunan nilai mata uang rupiah.

Menurut laporan, BI telah secara aktif mengintervensi pasar spot, domestic non-deliverable forwards (DNDF), dan pasar obligasi untuk menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan mata uang rupiah.

Selain itu, pemerintah baru-baru ini mewajibkan para eksportir untuk menyimpan semua pendapatan devisanya di dalam negeri selama setahun, akan memberikan BI cadangan devisa yang lebih besar untuk mempertahankan rupiah selama periode ketidakpastian tersebut.

"Kami tidak yakin bahwa intervensi Bank Indonesia akan cukup untuk membendung depresiasi rupiah," ucapnya dalam riset, Rabu (12/3/2025).

BMI menjelaskan bahwa penyebab utama pelemahan rupiah adalah ketidakpastian kebijakan AS yang akan menyebabkan lebih banyak tekanan depresiasi untuk mata uang rupiah dalam beberapa bulan ke depan. 

Selain itu, kebijakan proteksionisme Donald Trump hampir pasti akan memperburuk tekanan inflasi, dan hasilnya terjadi perlambatan dalam siklus pelonggaran AS.

Para pelaku pasar juga telah memprediksi kemungkinan pemangkasan suku bunga yang lebih sedikit, dengan beberapa ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga akan terjadi apabila inflasi AS tidak terkendali. 

"Kami memperkirakan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga hanya sebesar 50 bps menjadi 4,00% pada akhir 2025," tambahnya.

Dari sisi internal, BMI mengungkap salah satu hal yang turut membebani rupiah saat ini adalah manuver-manuver fiskal Presiden Prabowo Subianto.

"Pemerintah akan menghadapi keterbatasan anggaran apabila mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan mereka," katanya dalam riset, Rabu (12/3/2025).

BMI menyatakan bahwa baru-baru ini pemerintah telah mengalihkan US$18,8 miliar atau setara dengan Rp306 triliun dari anggaran negara untuk mendukung rencana-rencana Prabowo. Hal itu dilakukan dengan menerapkan pemangkasan biaya dalam pengeluaran negara. 

"Kami rasa dana tersebut tidak akan cukup untuk mendanai program-program kesejahteraan sosial Presiden," ujarnya.

Selain itu, BMI juga mengatakan bahwa Prabowo telah membentuk sebuah tim khusus untuk bisa merevisi undang-undang yang berkaitan dengan batasan fiskal. Apabila berhasil, profil fiskal yang memburuk akan menyebabkan pelemahan pada nilai rupiah.

Lebih lanjut, Tim Analis BMN menilai sebagian dari penghematan tersebut telah dialokasikan untuk membentuk sovereign wealth fund kedua di Indonesia, yakni Danantara yang menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya keterlibatan pemerintah di pasar. 

Adapun, Danantara yang baru dibentuk bermaksud untuk mengambil alih kontrol atas perusahaan milik negara yang menyumbang lebih dari 20% terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

"Menyusul pengumuman ini, arus modal keluar melonjak, menyebabkan penurunan sekitar 6% pada IHSG," ujarnya.

Adapun, dalam riset BMI menegaskan bahwa adanya kemauan pemerintah untuk terus mendorong kebijakan yang dibuat, meskipun hal ini berisiko mengorbankan kepercayaan investor.

Menurut risetnya, Bank Indonesia kini berada di bawah tekanan politik untuk mendukung agenda ekonomi pemerintah, yang bertujuan untuk mencapai target pertumbuhan 8,0%. Tanda-tanda bahwa BI akan berada di bawah tekanan pemerintah ini tentu membuat rupiah akan mengalami tekanan depresiasi karena kepercayaan investor goyah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Erta Darwati
Editor : Ana Noviani
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper