Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah dibuka melemah pada pembukaan perdagangan awal pekan, Senin (3/3/2025). Rupiah turun ke level Rp16.595 per dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang rupiah dibuka melemah 0,86% ke level Rp16.595 per dolar AS. Sementara itu, mata uang dolar AS tercatat melemah 0,37% ke level 107,21.
Sementara itu, mata uang Asia lainnya dibuka bervariasi, yakni yen Jepang yang menguat 0,17%, won Korea Selatan melemah 0,03%, dolar Taiwan menguat 0,02%, yuan China turun 0,05%, dan dolar Singapura naik 0,22%.
Kemudian peso Filipina naik 0,08%, rupee India melemah 0,36%, ringgit Malaysia menguat 0,12%, dan baht Thailand naik 0,20%.
Melansir Reuters, pasar saham Asia terombang-ambing hari ini karena ancaman tarif yang akan segera diberlakukan mengintai. Sementara itu, bitcoin melonjak setelah muncul berita bahwa mata uang kripto tersebut akan dimasukkan dalam cadangan strategis kripto baru di Amerika Serikat.
Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan di media sosial lima aset digital yang ia harapkan untuk dimasukkan dalam cadangan baru tersebut, termasuk bitcoin, ether, XRP, solana, dan cardano.
Kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi AS juga diperburuk oleh serangkaian data lemah yang membuat GDPNow tracker dari Federal Reserve Atlanta yang banyak dipantau berayun ke negatif 1,5% secara tahunan, dari 2,3%, memicu pembicaraan tentang kemungkinan resesi.
Ketakutan tersebut semakin diperparah pada hari Minggu ketika Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengatakan bahwa tarif untuk Kanada dan Meksiko akan mulai berlaku pada hari Selasa. Tetapi, Trump akan memutuskan apakah akan tetap memberlakukan tarif sebesar 25% seperti yang direncanakan.
Tambahan tarif 10% untuk impor dari China juga dijadwalkan mulai berlaku minggu ini, tepat ketika Kongres Rakyat Nasional negara tersebut membuka sesi tahunan ketiganya pada hari Rabu, di mana langkah-langkah stimulus dan kemungkinan pembalasan terhadap AS bisa diumumkan.
"Seperti halnya pengumuman tarif Trump sebelumnya, sulit untuk mengetahui apakah ini hanya gertakan atau benar-benar perubahan kebijakan," kata Michael Feroli, ekonom JPMorgan.
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, lanjut Feroli, hal itu akan menciptakan hambatan baru yang signifikan bagi aktivitas ekonomi, serta mendorong kenaikan harga konsumen.