Bisnis.com, JAKARTA — Bursa Asia diprediksi rebound pada Rabu (29/1/2025), menyusul tren serupa di Wall Street setelah aksi jual yang mengguncang pasar global. Fokus pasar kini beralih ke keputusan suku bunga Federal Reserve dan laba perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat (AS).
Mengutip Bloomberg, kontrak berjangka menunjukkan kenaikan di pasar Australia dan Jepang, sementara pasar-pasar utama lainnya di kawasan Asia tutup untuk libur Tahun Baru Imlek. Adapun, indeks S&P 500 naik 0,9% dan Nasdaq 100 naik 1,6% pada perdagangan di AS yang ditopang oleh reli Nvidia Corp. sebesar 8,9% setelah sempat mengalami kerugian nilai pasar terbesar dalam sejarah.
Dolar AS dan harga minyak menguat karena Presiden AS Donald Trump berjanji mengenakan tarif yang lebih besar daripada yang dilaporkan. Usulan tarif sedang dipertimbangkan oleh Menteri Keuangan baru Scott Bessent.
Suasana Wall Street sendiri relatif tenang setelah mengawali pekan ini dalam situasi sulit. Pasar sempat diselimuti kekhawatiran bahwa model kecerdasan buatan (AI) murah dari perusahaan rintisan China DeepSeek dapat membuat koreksi lebih dalam pada nilai perusahaan teknologi.
“Apakah itu sedikit meresahkan? Ya, bagi sebagian orang. Haruskah Anda panik? Sama sekali tidak. Jika Anda berbicara dengan siapa pun yang membeli saham kemarin, mereka menyukai kesempatan untuk membeli beberapa saham-saham ini dengan diskon besar. Pada akhirnya, apa pun hasilnya, persaingan itu bagus. Dan ingat, Anda mendapatkan apa yang Anda bayar," kata Kenny Polcari di SlateStone Wealth.
Perhatian pasar kini akan beralih ke keputusan bank sentral AS, Federal Reserve, tentang suku bunga dan dimulainya musim pelaporan keuangan perusahaan teknologi besar. Laporan keuangan ini bakal menjadi ujian utama bagi para investor di perusahaan-perusahaan AI.
Baca Juga
Meski laba dari perusahaan raksasa yang disebut Magnificent Seven masih meningkat—dan jauh melampaui pasar lainnya—pertumbuhan diproyeksikan mencapai level terendah dalam dua tahun.
“Sekarang keadaan mulai tenang setelah perhitungan AI yang telah lama tertunda pada hari Senin, dan sementara kami masih percaya pada kisah produktivitas yang digerakkan oleh AI, berinvestasi di sektor ini ke depannya mungkin tidak semudah dua tahun terakhir. Kami berharap investor lebih cermat dan selektif dalam hal investasi AI," kata Emily Bowersock Hill di Bowersock Capital Partners.
Saat pertemuan dua hari The Fed dimulai, para pedagang obligasi meningkatkan taruhan bullish pada obligasi pemerintah AS dengan harapan bahwa Jerome Powell bakal mengisyaratkan kepastian pemangkasan suku bunga pada Maret.
Sebuah survei yang dilakukan oleh 22V Research menunjukkan 67% responden memperkirakan reaksi terhadap Fed pada hari Rabu akan beragam atau tidak berarti, sementara 21% mengatakan menghindari risiko dan 12% mengambil risiko.
Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun sedikit berubah pada 4,53%. Indeks Bloomberg Dollar Spot naik 0,3%.
Sementara itu, pejabat Fed secara luas diperkirakan akan mempertahankan biaya pinjaman tetap stabil pada Rabu (29/1/2025) waktu setempat seiring dengan permintaan yang sehat dan inflasi yang optimal.
"Sederhananya, kisah fundamental AS yang kuat tentang pertumbuhan yang kuat, inflasi yang meningkat, dan Fed yang lebih agresif terus mendukung imbal hasil AS yang lebih tinggi dan dolar yang lebih kuat," ujar Win Thin di Brown Brothers Harriman, dalam sebuah catatan.
Berdasarkan beberapa ukuran, pertemuan Fed kali ini diperkirakan tak akan menimbulkan reaksi yang signifikan di pasar saham.
"Pasar tidak mengharapkan penurunan suku bunga dan akan fokus pada apa yang diproyeksikan Fed untuk sisa tahun 2025," kata Bowersock Hill.
Bowersock Hill menambahkan, baik inflasi maupun suku bunga akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama. Oleh karena itu, dirinya tidak akan terkejut melihat satu penurunan suku bunga pada tahun 2025, atau bahkan tidak ada sama sekali.