Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Asia diprediksi bergerak variatif pada perdagangan Rabu (15/1/2025) menyusul sesi perdagangan yang lesu di bursa AS.
Fokus para pelaku pasar saat ini adalah data inflasi utama yang diharapkan mampu memberikan kejelasan terhadap arah kebijakan suku bunga Federal Reserve dalam waktu dekat.
Melansir Bloomberg, bursa berjangka di Australia dan Hong Kong bergerak stagnan, sementara kontrak indeks Jepang menguat. Di China, indeks saham diperkirakan melanjutkan tren positif untuk hari kedua, didorong lonjakan lebih dari 2% pada saham perusahaan China yang terdaftar di AS.
Laporan bahwa tim transisi Donald Trump sedang mengkaji opsi kenaikan tarif secara bertahap turut menopang sentiment positif.
Dolar AS tertekan untuk pertama kalinya dalam enam hari perdagangan, dipicu data inflasi indeks harga produsen (PPI) yang tidak setinggi ekspektasi. Sementara itu, pasar obligasi Australia melemah mengikuti kenaikan imbal hasil obligasi AS 10 tahun menjadi 4,79%.
Di tengah penantian terhadap data inflasi indeks harga konsumen (IHK/CPI), indeks S&P 500 ditutup mendatar setelah berfluktuasi, terbebani oleh pelemahan saham-saham teknologi besar.
Baca Juga
Chris Brigati dari SWBC mengatakan semua perhatian kini tertuju pada laporan CPI hari Rabu, yang mungkin menjadi salah satu data inflasi paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir,.
“Jika inflasi ternyata kuat, ekspektasi pemotongan suku bunga di 2025 akan hilang, bahkan ada peluang kenaikan suku bunga lebih lanjut. Sebaliknya, data inflasi yang lemah bisa menenangkan kekhawatiran pasar terhadap kebijakan Fed,” jelasnya.
Inflasi inti di AS pada akhir 2024 diperkirakan hanya sedikit melandai di tengah pasar tenaga kerja yang solid dan ekonomi yang kokoh, mendukung pendekatan bertahap Federal Reserve dalam pemangkasan suku bunga di masa depan.
Laporan inflasi AS diprediksi memengaruhi pasar global setelah serangkaian data sebelumnya menunjukkan kekuatan ekonomi AS yang memicu lonjakan imbal hasil Treasury.
Di Asia, indeks saham telah turun 2,8% sepanjang tahun ini, sementara indeks mata uang kawasan mencatat pelemahan 0,4% akibat penguatan dolar AS yang terus berlanjut. Kekhawatiran atas kebijakan tarif Trump memberikan tekanan tambahan.
Hari ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia juga akan menjadi perhatian saat pelaku pasar mencari petunjuk tentang respons kebijakan moneter terhadap ketidakpastian global.
Survei Bloomberg menunjukkan bahwa BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga di level 6%, sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah yang dilakukan sebelumnya.
“Lingkungan global yang penuh ketidakpastian menambah tantangan bagi dinamika fiskal dan moneter di kawasan ini,” kata Alicia Chu, manajer portofolio di Standard Chartered Singapura.