Bisnis.com, JAKARTA — Emiten tambang pelat merah PT Timah Tbk. (TINS) meyakini harga timah bakal bertengger di rentang US$29.000 per ton sampai dengan US$31.000 per ton tahun depan.
Emiten berkode saham TINS itu menyebut permintaan yang kuat dari pasar global bakal menopang pergerakan harga timah cenderung menguat pada 2025.
Direktur Pengembangan Usaha TINS Dicky Octa Zahriadi berpendapat sentimen permintaan timah di pasar global cenderung positif yang berasal dari proyeksi permintaan dari Jepang dan China.
“Berdasarkan diskusi kami dengan beberapa konsumen, mereka menyatakan sentimen yang cukup positif untuk demand di Jepang dan di China,” kata Dicky saat public expose daring, Jumat (22/11/2024).
Dicky memperkirakan permintaan untuk tin solder dan tin chemical dari pasar global belakangan bakal dikerek dari aktivitas yang lebih sibuk pada manufaktur produk elektronik.
Kendati demikian, dia menambahkan, perseroannya turut mempertimbangkan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, setelah Donald Trump dipastikan kembali menjadi presiden.
Baca Juga
Dia menuturkan harga timah sempat terkoreksi 10% sepekan terakhir seiring dengan sentimen terpilihnya Trump sebagai presiden AS.
“Kita melihat secara permintaan terlepas dari geopolitik dan stimulus China, kita sangat positif kalau harga timah setidaknya akan bertahan di angka yang sama seperti di tahun 2024, US$29.000 per ton sampai US$31.000 per ton,” kata dia.
Sampai dengan Oktober 2024, harga rata-rata logam timah CSP di London Metal Exchange(LME) naik 15,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi US$30.355,66 per ton. Adapun, harga timah tiga bulanan terakhir naik 16,3% menjadi US$30.456,60 per ton.
Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, perkiraan harga timah pada tahun 2024 berkisar antara US$28.500 per ton hingga US$31.000 per ton.
Aktivitas manufaktur elektronik, yang merupakan pendorong utama permintaan timah, diperkirakan akan menguat pada tahun 2024.
Di sisi fundamental, pengetatan pasar timah didorong oleh terbatasnya pasokan dari Indonesia, Myanmar dan Republik Demokratik Kongo (DRC).
“Sampai dengan Oktober kita berhasil menjual dengan harga rata-rata US$31.000 per ton secara rata-rata dari Januari,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, TINS mengantongi laba bersih Rp908,78 miliar sepanjang Januari sampai dengan September 2024 sejalan dengan moncernya pendapatan perusahaan.
Berdasarkan Laporan Keuangan per 30 September 2024, pendapatan TINS tercatat naik 29,43% year-on-year (YoY) dari Rp6,37 triliun menjadi Rp8,25 triliun per kuartal III/2024.
Di sisi operasional, TINS membukukan kenaikan volume produksi bijih timah dan logam timah yang berimbas terhhadap kenaikan volume penjualan.
Sampai dengan kuartal III/2024, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 15.189 ton atau naik 36% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 11.201 ton.
Adapun, produksi logam naik 25% YoY menjadi 14.440 ton dari 11.540 ton. Sementara itu, volume penjualan logam timah naik 21% menjadi 13.441 ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 11.100 ton.
Dalam 9 bulan 2024, TINS mencatatkan ekspor timah sebesar 91% dengan negara tujuan ekspor utama meliputi Singapura 16%, Korea Selatan 15%, India 11%, Jepang 10%, Amerika Serikat 9%, dan Belanda 8%.
Di sisi lain, harga pokok pendapatan TINS naik sebesar 4,5% YoY dari Rp5,79 triliun menjadi Rp6,05 triliun pada 9 bulan 2024. Dengan demikian, TINS membukukan laba usaha sebesar Rp1,42 triliun dan EBITDA sebesar Rp2,08 triliun atau melonjak 194% dari 9 bulan 2023.
Laba bersih TINS itu berbalik positif dari rugi bersih Rp87,45 miliar pada Januari-September 2023. Alhasil, laba per saham TINS meningkat dari minus Rp12 menjadi Rp122.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.